Sravanaam Kiirtanam
Visnoh
Smaranam Pada sevanam.
Archanam Vandanam
Dasyanam.
Sakhyanam
Atmanivedanam.
(Bhagavata Purana.
VII.5.23)
Maksudnya:
Ada sembilan cara berbhakti kepada Tuhan yaitu Sravanam, Kiirtanam, Smaranam, Padasevanam, Archanam, Vandanam, Dasyanam, Sakhyanam dan Atmanivedanam.
Sembilan cara untuk berbakti kepada Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Bhagavata Purana yang dikutip dalam tulisan ini sesungguhnya sudah sangat mentradisi dalam kehidupan beragama Hindu di Indonesia (Bali). Cuma ada sementara umat yang belum tahu di mana hal itu diajarkan. Berbakti kepada Tuhan dengan mendengarkan cerita-cerita keagungan Tuhan disebut Sravanam.
Raja Parikesit mencapai kesempurnaan
setelah mendengarkan cerita-cerita tentang keagungan Tuhan dari Resi Suka
dengan penuh rasa bakti. Demikian juga Prahlada mencapai kesempurnaan dengan
melakukan Smaranam artinya terus-menerus ingat pada Tuhan dengan penuh rasa
bakti. Dewi Laksmi juga mencapai kesempurnaan dengan memijit-mijit Padmakaki
Batara Wisnu yang sedang telentang di atas Nagasesa di tengah lautan.
Dalam tradisi umat Hindu di Bali
disebut dengan istilah "Tirtha Wangsuhpada" saat melakukan pemujaan
pada Tuhan di suatu pura. Raja Satyawreta mencapai kesempurnaan dengan melakukan
bakti pada Tuhan dengan cara Archanam. Resi Suka pun mencapai Moksha dengan
melakukan Vandanam yaitu menceritakan keagungan Tuhan dengan penuh rasa tulus
dan bakti.
`Hanoman berbakti kepada Sri Rama
dengan mengabdikan dirinya dengan penuh bakti. Hal ini disebut Dasyanam. Dalam
tradisi Hindu di Bali disebut "Ngayah". Arjuna pun mendapatkan
kecermalangan hidupnya dengan dekat penuh bakti pada Sri Krisna bagaikan
sahabat. Hal ini disebut Sakhyanam. Demikian juga Raja Bali dengan menyerahkan seluruh
dirinya secara total (Atmanivedanam) kepada Wisnu dalam wujud anak cebol
bernama Wamana.
Selanjutnya cara bakti yang sangat
populer dilakukan oleh umat Hindu adalah dengan melantunkan kidung-kidung suci
memuja Tuhan. Cara berbakti pada Tuhan dengan melantunkan kidung-kidung suci
itu disebut Kiirtanam dalam kitab Bhagawata Purana dan Bhajan dalam kitab
Bhagawad Gita. Metode membina rohani umat Hindu dengan melantunkan
Kidung-kidung suci itu disebut Dharma Gita dalam enam metode pembinaan umat
Hindu yang ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat. Kiirtanam atau Dharma
Gita itu memiliki dimensi yang luas dalam mengembangkan kualitas kerohanian
umat Hindu.
Setidak-tidaknya ada dua hal yang
dapat diambil maknanya dengan Dharma Gita tersebut. Pertama, dengan Dharma Gita umat mendapatkan banyak tuntutan
ajaran Hindu. Karena dalam Dharma Gita itu banyak ajaran dan keagungan
Tuhan diceritakan. Karena itu di Bali populer dengan istilah ''Melajah
Sambilang Magending''.
Apalagi Dharma Gita itu diwujudkan
dalam berbagai bahasa. Seperti bahasa Sansekerta dalam mantra-mantra Veda dan
sloka-sloka Bhagawad Gita. Bahasa Jawa Kuna dalam berbagai bentuk kekawin yang
disebut "Sekar Agung". Bahasa Jawa Tengahan dalam kidung-kidung yang
disebut "Sekar Madia" dan berbagai Geguritan yang disusun dalam
bahasa daerah Bali yang indah. Semua yang dilantunkan atau Kiirtanam itu
memberikan umat ajaran suci Hindu untuk didayagunakan menuntun hidupnya di
dunia ini. Yang kedua umat mendapatkan
latihan konsentrasi dan meditasi dalam melakukan Dharma Gita tersebut.
Dengan Dharma Gita itu umat
melakukan pemusatan keheningan hati nurani pada keagungan dan kesucian Tuhan.
Hal ini dalam ajaran Yoga Sutra disebut Dhyana. Swami Siwananda mengartikan
Dhyana itu konsentrasi. Dalam Sarasamuscaya Dhyana artinya terus-menerus
memusatkan perhatian pada Tuhan (Siwasmaranam).
Dari pemusatan perhatian pada
keagungan dan kesucian Tuhan itu seseorang akan mendapatkan keheningan jiwa
yang mantap. Keheningan jiwa yang mantap itulah disebut Samadhi. Swami Siwananda
mengartikannya dengan Meditasi. Proses Dhyana terus menuju Samadhi ini akan
dicapai dalam melakukan Dharma Gita apabila Dharma Gita itu dilakukan dengan
sikap yang benar.
Sikap batin dalam melakukan Dharma
Gita adalah sikap bakti yang tulus kepada Tuhan. Kalau Dharma Gita itu
dilakukan dengan dorongan nafsu untuk mendapatkan ketenaran dengan pamer
keindahan suara maka Dharma Gita itu tidak akan memberikan pahala Dhyana dan
Samadhi itu. Kalau mampu menampilkan suara yang indah dan mengagumkan muncullah
sifat sombong dan akan meremehkan orang lain yang suaranya dianggap lebih
jelek. Hal itu tidak akan memberikan pahala mulia dalam melakukan Dharma Gita.
Artikel by : I Made Kartiada, S.Ag
Tags:
Etika,
Tattwa,
Upacara/Upakara
0 komentar: