Agama yang
diturunkan kedunia ini oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk menuntun umat manusia
agar mendapatkan kebahagiaan hidup didunia maupun di alam rohani. Untuk mencapai
tujuan agama hindu menuju jagathita dan
moksha itu maka setiap orang harus
mempunyai empat landasan yang disebut catur
purusa artha. Yang artinya empat tujuan hidup yang ingin dicapai oleh
manusia. Yang bagiannya terdiri dari Dharma,
artha, kama dan moksha. Catur purusa artha
merupakan realita kehidupan yang harus dituju oleh setiap orang. Oleh karena
luasnya jangkauan catur purusa artha
itu, tidak mungkin dapat dicapai dalam suatu tahap kehidupan. Catur purusa
artha inilah yang menyebakan adanya tahapan atau tingkatan hidup. tingkatan
hidup ini disebut dengan Asram. Dalam bahasa sansekerta Asram berasal dari
urat kata “srama” yang artinya
latihan atau aktivitas keagamaan. Asram
dapat diartikan sebagai kegiatan hidup dalam suatu tingkatan hidup atau
tingkatan dari seluruh proses kehidupan dalam ajaran hindu. Kegiatan-kegiatan
hidup yang telah ditentukan itu berbeda antara satu tingkatan hidup dengan
tingkatan hidup berikutnya. Sistem Asram
adalah suatu landasan konsepsi hidup dalam mencapai hidup yaitu catur purusa artha. Misalnya dalam
tahapan Brahmacari tujuan hidup
diutamakan mendapatkan Dharma.
Sedangkan artha, karma, dan moksha
dijadikan prioritas kedua. Tahapan yang kedua yaitu grhastha
yang menjadi tujuannya adalah artha
dan kama
tetapi hal tersebut selalu berlandaskan akan Dharma. Karena pada saat berumah tanggalah melakukan dharma seperti berbuat kebajikan,
pelayanan, dana punia, taat akan kewajiban dan lain sebagainya. Tahap
berikutnya adalah Wanaprastha dan Sanyasa, hidup lebih mengutamakan untuk
mencari moksha atau kelepasan dengan
cara melepaskan kewajiban-kewajiban hidup bermasyarakat dan urusan keduniawian.
Disamping itu catur purusa artha
dicapai secara bertahap berdasarkan asrama
masing-masing juga harus dicapai dengan keahlian dan profesionalisme. Yajna Valkya mengajarkan juga Guna Dharma yaitu suatu kewajiban untuk
melaksanakan dharma sesuai dengan
sifat, dan bakat yang dimiliki atau dibawa lahir. Sedangkan Warna Dharma adalah suatu kewajiban
untuk mengamalkan dharma berdasarkan
warna masing-masing. Warna dharma
adalah profesionalisme dan fungsionalisme.
Sistem asrama memberikan landasan
arah yang jelas dan nyata tentang apa yang baik dilakukan oleh setiap orang
sesuai dengan pertumbhan dirinya dalam stiap tahap hidup. Apa yang baik
dilakukan dalam tahapan hidup berbeda antara satu tahapan hidup dengan tahapan
hidup berikutnya. Perbedaan kewajiban itu merupakan suatu pertentangan, tetapi
suatu kebutuhan yang lengkap melengkapi. Apa yang dicapai dalam tahap brahmacari akan dikembangkan dan
dilengkapi oleh tahapan grhastha .
demikian pula grhastha akan
dilengkapi dan disempurnakan dalam kehidupan Wanaprastha. Demikian seterusnya hingga tujuan hidup terakhir dapat
tercapai.
Sistem
warna akan memberikan puncak kesempurnaan menuju profesionalisme yang
berlandaskan moral religius. Manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya
apabila mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan jati dirinya dibawa lahir.
Orang akan bahagia apabila dapat bekerja sesuai dengan sifat dan bakatnya yang
dbawa sejak lahir. Jadi sangatlah jelas bahwa ketiga hal yaitu tujuan hidup
yaitu catur purusa artha, catur asrama
dan catur varna akan selalu berkaitan.dalam
mencapai tujuan ada thapan kehidupannya dan didalam tahapan kehidupan akan
terdapat profesi. Bagaimanakah catur
warna menurut sastra hindu? untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab
pembahasan.
Catur warna adalah landasan konsepsi
ajaran kemasyarakatan hindu yang bersumber pada kitab suci hindu. Kata warna
berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata Vri yang artinya memilih lapangan lapangan kerja. Catur warna membagi masyarakat hindu
menjadi empat secara pararel horizontal, warna ditentukan oleh guna dan karma. Guna adalah sifat,
bakat dan pekerjaan. Karma artinya
perbuatan atau pekerjaan. Guna dan karma inilah yang menentukan warna
sesorang, alangkah bahagianya orang yang dapat bekerja sesuai dengan sifat,
bakat dan pembawaannya. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgitha IV.13 dan XVIII.41
yaitu :
Caturvarnayah
maya srstam
Gunakarmavibhagasah
Tasya
kartaram api mamm
Vidhdhy
akartaram avyayam.
Terjemahannya :
Catur
warna kuciptakan menurut pebagian dari guna
dan karma (sifat dan pekerjan).
Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan.
Pengertian warna menurut pembawaan dan fungsinya dibagi menjadi empat
berdasarkan kewajiban. Orang dapat mengabdi sebesar mungkin menurut
pembawaannya. Disini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta kasih dan
keikhlasan sesuai dengan ajaran agama hindu.
Brahmanaksatriavisam
Sudranam
ca paramtapa
Svabhavaprabhavair
gunaih.
Terjemahannya :
O Arjuna, tugas-tugas adalah terbagi
menurut sifat, watak kelahirannya sebagaimana halnya brahmana, ksatriya, waisya
dan juga sudra.
Pembagian kelas ini sebenarnya bukan
terdapat pada hindu saja, tetapi sifatnya universal. Klasifikasinya tergantung
pada tipe alam manusia, dari bakat kelahirannya. Masing-masing dari empat kelas
ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak selalu ditentukan oleh keturunan.
Dalam bhagawadgita teori varna sangat luas dan
mendalam. Khidupan manusia diuar, mewujudkan wataknya didalam. Setiap mahluk
mempunyai watak kelahirannya (swabhawa)
dan yang membuat efektif didalam kehidupannya adalah kewajibannya (swadharmanya)
Ada lagi sloka Bhagavadgita yang menjelaskan tentang empat kelas dalam masyarakat
yang kemudian mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat ini tidak
ditentukan oleh kelahiran akan tetapi karakter psikologis. Terjemahannya yaitu
:
Hai arjuna (parantapa), karma (kewajiban) bagi Brahmana, ksatria, waisya dan sudra telah dibagi-bagikan menurut guna (bakat dan sifat) menurut watak
mereka.
Dalam kitab Sarasamuscaya sloka 55 menjelaskan catur warna sebagai berikut :
“Brahmana adining warna, tumut
ksatria, tuut waisya, ika sang warna tiga, kapwa dwijati sira,
dwijatiingaraning ping rwa mangjanma, apan ri sedeng niran brahmacari guru
kulawasi kineman sira diksa bratasangkara kapig rwaning jan maniratika ri wus
nira krtasang kara, nahan matangnian kapwa dvijati sira katiga, kunang ikang
sudra kapatning warna, ekajati sang dadi rasaka, tan dadi kenanana
bratasangkara, tatan brahacari mangkana kandanikang warna empat, ya ika catur
varna ngaraika, tan hana kalimaning warna ngaranya.”
Terjemahannya :
Brahmana
adalah golongan pertama, menyusul ksatriya,
lalu Wesiya ketiga golongan ini
sama-sama boleh melakukan Dwijati, Dwijati artinya lahir dua kali karena
tatkala mereka menginjak masa kerohanian yang kedua kali adalah setelah selesai
menjalani upacara penyucian (pentasbihan),
ituah sebabnya mereka itu ketiga-tiganya disebut lahir kedua kali, adapun sudra yang merupakan golongan keempat
disebut ekajati, lahir satu kali, tidak boleh dikenakan kepadanya brata
sangaskara, tidak diharuskan melakukan brahmacari, demikian halnya kempat
golongan itu, itulah yang disebut dengan Catur
Varna, tidak ada golongan kelima.
Keterangan yang hampir sama dijumpai
dalam Manawa Dharma Sastra X.4 yang
memuat sloka yang bunyinya dan artinya
sebagai berikut :
Brahmanah
Ksatriya Vaisuas,
Trayovarna
dvijatayah,
Caturtha
ekajatistu,
Sudro
nastitu pancamah.
Terjemahannya :
Brahmana
ksatriya Vaisiya ketiga golongan ini adalah dapat melakukan dwijati, sedangkan sudra yang keempat adalah ekajati
dan tidak ada golongan yang kelima.
Dalam kedua soka tersebut diatas,
disebutkan sudra tidak dibenarkan
melakukan dwijati. Hal ini memang
tepat sekali karena menurut pendapat Dr.Gangga Prasad Upadhyaya dalam bukunya,
sudra itu adalah orang yang tingkat kecerdasannya sangat rendah, tidak dapat
memilih atau menentukan pekerjaan untuk dirinya sendiri, ia tidak akan
dibiarkan hidup malas berpangku tangan
saja. Ia diberikan pekerjaan oleh tiga warna yang lainnya. Keadaan diri sudra itulah yang menyebabkan ia tidak
dibenarkan melakukan dwijati. Dwijati adalah kedudukan yang amat
penting dan memerlukan kecerdasan tertentu agar ia dapat berfungsi sebagai dwijati yang benar dan berguna bagi
masyarakat.
Keempat warna ini memiliki hak yang
sama dalam mempelajari Veda. Hal ini
dijelaskan dalam kitab suci Yajur Veda ke XXV.2 sebagai berikut :
Yatenam
cvacam kalyanim
Avadani
janebyah
Brahma
rajanyabyah
Cudraya
caryaya ca
Svaya
caranaya ca.
Terjemahannya :
Biar kunyatakan disini kata suci
ini, kepada orang –orang banyak kepada kaum Brahmana,
kaum ksatriya, kaum sudra dan bahkan kepada orang-orangku
dan kepada mereka (orang-orang asing) sekalipun.
Kata suci yang dimaksudkan dalam
kata ini adalah Veda Sruti yang boleh
dipelajari oleh keempat golongan (Brahmana,
ksatriya,waisya dan sudra) atau apapun golongannya. Jadi, Yajur Veda memberikan penjelasan bahwa
kedudukan masing-masing warna dalam catur warna dalam mempelajari veda adalah sama. Tidak ada satu
golonganpun yang ditinggalkan.
Kalau kita perbandingkan isi kutipan
kitab-kitab suci agama hindu tersebut, maka akan terdapat suatu persamaan bahwa
tidak ada memuat istilah kasta.
Demikian pula bahwa masing-masing warna itu tidak terjadi karena garis
keturunan, apalagi diteruskan turun-temurun. Ia hanya mengelompokkan masyarakat
menjadi empat golongan menurut bakat, sifat, dan perbuatan /pekerjaan. Atau
dengan kata lain menggolongkan masyarakat berdasarkan profesinya. Mengenai
keterangan yang terdapat dalam sarasamuscaya
dan menawa dharma sastra yang
menyebutkan adanya istilah dwijati
bagi golongan brahmana, ksatriya dan waisya, serta istilah ekajati bagi golongan sudra, akan jelas sekali latar
belakangnya setelah kita mempelajari guna
(sifat bakat) dan karma (perbuatan/pekerjaan)
dari masing-masing warna.
Dalam Rg Veda mandala X, lahirnya catur
warna diuraikan secara mitologis. Warna
Brahmana diceritakan lahir dari mulut dewa Brahma, ksatriya dari tangannya, Wesiya dari perutnya, sedangkan sudra
dari kakinya. Mitologi Rg Veda ini melukiskan bahwa semua warna adalah ciptaan Tuhan dengan fungsi
yang berbeda-beda. Keterangan ini dipertegas dalam kitab suci Menawa Dharma Sastra 1.87, sebagai berikut
:
Sarwasya
sya tu sargasya
Guptyartham
sa mahadyutih
Mukha
bahu rupajanam
Prthak
karmanya kalpayat.
Terjemahannya :
Untuk melindungi alam ini, Tuhan
Yang Maha cemerlang menntukan kewajiban yang berlainan terhadap mereka yang
lahir dari mulutnya, dari tangannya, dari pahanya dan dari kakinya.
Jelas disini yang dimaksud lahir
dari mulut, tangan, paha, dan dari kaki tiada lain adalah : Brahmana, Ksatriya, Waisya dan sudra.
Keempat warna ini justru
dibeda-bedakan fungsinya agar masyarakat dan dunia terlindung dari kehancuran.
Ini menandakan fungsi-fungsi itu sama penting dalam memperoleh harkat dan
martabatnya.
Untuk menentukan warna seseorang
bukanlah dilihat dari keturunannya tetapi benar-benar ditentukan oleh Guna dan Karma seseorang, hal ini ditegaskan lagi dalam Mahaharata XII, CCCXII. 108. sloka tersebut adalah sebagai berikut
:
Nayonir
napi samskara
Nasrutam
naca santatih
Karanani
dwijatwasya wrttam eva tukaranam.
Terjemahannya :
Bukan karena keturunan (yoni), bukan
karena upacara semata, bukan pula karena mempelajari Veda semata, bukan karena jabatan yang menyebabkan seseorang
disebut dwijati. Hanya karena
perbuatannyalah seseorang dapat disebut Dwijati.
Sloka ini diambil dari Wana Parwa
bagian dairi Mahabhatara pada episode
ketika Bima dibelit oleh Naga besar
yang disebut Nagendra. Nagendra akan
melepaskan Bima apabila Dharma Wangsa mampu
menjawab semua pertanyaan dari raja naga tersebut. Salah satu dari sekian
banyak pertanyaan adalah : “siapa yang
dapat disebut Dwijati?” soka disebut diatas adalah jawaban dari Dharmawangsa.
Catur
warna ini adalah suatu konsepsi kemasyarakatan hindu yang tidak dapat
dilepaskan dari tujuan hidup catur
purusartha dan tahapan hidup catur
asrama. Untuk mendapatkan Dharma,
Artha, Kama dan Moksha secara bertahap dalam catur
Asrama membutuhkan keterpaduan antara sifat dan bakat yang dibawa lahir
dengan pekerjaan yang didapatkan dalam menuntun kehidupan didunia ini.
Demikianlah pula landasan etika yang wajib diwujudkan oleh setiap orang dalam melaksanakan
profesinya. Jadi catur warna adalah suatu konsep hidup yang benar-benar serius
dan sakral karena diwahyukan oleh Tuhan sebagai mana disebutkan dalam Bhagawadgita IV. 13 yang dikutip
didepan.
Dalam zaman pembangunan dewasa ini
adalah merupakan suatu kewajiban yang amat suci mengembalikan catur warna dalam pengertiannya yang
benar dan dibersihkan dari lumpur kasta versi India dan sistem wangsa versi bali.
Catur
warna adalah bhisama kitab suci, yang tidak membeda-bedakan hasrat dan
martabat manusia. Catur warna
benar-benar memberikan manusia jalan hidup untuk bekerja sesuai dengan sifat,
bakat dan pembawaan yang dibawa sejak lahir.
Adapun kewajiban
masing-masing warna, dalam Sarasamuscaya disebutkan yaitu :
1.
Brahmana, adapun Brata seorang brahmana yaitu dharma,
satya, tapa, dama, miwarsaritwa, hrih, titiksa, anusuya, yajna, dana, dhrti,
dan ksama. Dharma dari satyalah sumbaernya, tapa artinya sarira sang cosana
yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu,dama artinya tenang dan
sabar, tahu menasehati dari-sendiri, wimatsaritwa artinya tidak dengki irihati,
hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat
gusar,anayusa artinya tidak berbuat dosa, yajna artinya mempunyai kemauan mengadakan
pujan, dana artinya memberikan sedekah, dhrti artinya penerangan dan pensucian
pikiran, ksama berarti tahan sabar dan suka sabar dan mengampuni.
2.
Ksatriya, yang mesti dilakukan oleh sang ksatriya yaitu
harus mempelajari Veda, senantiasa melakukan korban api suci, mengadakan
upacara kebhaktian, menjaga keamanan Negara, mengenal bawahannya sampai sanak
keluarga dan kaum kerabatnya, memberikan sedekah.
3.
Waisya, yang mesti dilakukannya yaitu ia harus belajar
pada sang brahmana, maupun pada sang ksatriya,hendaknya ia memberikan sedekah
pada saatnya, waktu persedekahan tiba,pada hari yang baik, hendaklah ia
membagikan sedekah kepada semua orang yang meminta bantuan kepadanya dan taat
mengadakan pujaan kepada tiga api uci yang disebut dengan Tryagni yaitu iuga
api suci yaitu ahawaniya grhaspatya dan citagni. Ahawaniya adalah api tukang
masak untuk memasak makanan, garhaspati artinya api untuk upacara perkawinan
dan cita gni yaitu api untuk membakar mayat.
4.
Sudra, yang mesti dilakukan oleh seorang Sudra yaitu setia
mengabdi kepada Brarmana, Ksatriya dan wesya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
Konsepsi warna dibali yang kita kenal adalah
suatu pembagian masyarakat secara keturunan yang sebenarnya hal tersebut adalah
wangsa. Catur warna dalam agama hindu
mempunyai arti pembagian masyarakat berdasarkan profesi. Warna dibedakan atas guna
dan karma. Yang dimaksud guna adalah sifat, bakat, dan pembawaan
seseorang dan karma adalah perbuatan.
Adapun bagian-bagiannya yaitu Brahmana,ksatriya, wesya dan sudra yang mana pembagiannya secara
horizontal.Dalam kitab-kitab hindu dijelaskan kaum Brahmana, Ksatrya dan Wesya
sajalah yang didwijati yaitu lahir
kedua kali yakni dari rahim ibu dan yang kedua dari sastra sedangkan kaum sudra
disebut sebagai ekajati saja hal ini
dikarenakan tingkat kecerdasan kaum sudra dianggap rendah. Demikian tugas dari
masing-masing warna berbeda Brahmana memiliki tugas mempelajari Veda, ksatriya
membela Negara, Wesya memiliki tugas berniaga atau berjual beli dan sudra
memiliki tugas membantu ketiga golongan tersebut.
Tags:
Etika,
Tattwa
0 komentar: