Weda
Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari
Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak
dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang
bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh
manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci
(atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak
dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang
demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku
untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap
orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti
ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong
tafsir (human origin).
Salah satu unsur dari kelompok kitab
Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum
masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini
dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab
Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta,
Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita
mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang
cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan
Timur.
Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient
Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan
pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum
masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem
astronomi Hindu tersebut di atas.
Eksistensi Tahun Saka di India
merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India.
Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang
berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi,
Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta
menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan
keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan
politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan
kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka
dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.
Tahun 125 SM dinasti Kushana dari
suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti
Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak
lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk
menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul
semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak
kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).
Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I
dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka
menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa
di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi
Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin
berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.
Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu
telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula
di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji
Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, pada tahun 456 Masehi.
Demikianlah awal mula perkembangan
Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah
eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra
(Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun
Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa,
Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah
tentang peningkatan moral masyarakat.
Perayaan Tahun Saka pada bulan
Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada
Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini
dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan
Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga
setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa
hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan
sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada
tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan
brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat
melaksanakan Dharma Santi.
Muwujudkan kesejahteraan lahir batin
atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur
Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup
ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.
Menurut
agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati),
manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan
berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia
harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama.
Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk
upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat
kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman
Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan
semua makhluk (Bhutahita).
"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih
ring sarwa prani."
Artinya:
Oleh
karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas
kasihan kepada semua makhluk.
"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan
ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."
Artinya:
Karena
kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan
moksha.
Di
dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya
dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:
"Butha
Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."
Dalam
Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena
hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña
lahir karena kerja.
Dalam kenyataannya, kita bisa
melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan
makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan
Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan
sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat
Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.
Dalam
lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu:
Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas
untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat
upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri
Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah
Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah
upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar
Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:
Anglukataken
laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.
Artinya: Melenyapkan penderitaan
masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.
Lontar Sundarigama menambahkan bahwa
tujuan Melasti adalah:
Amet
sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.
Artinya: mengambil sari-sari air
kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.
Jadi tujuan Melasti adalah untuk
menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari
kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh
gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari
sari-sari kehidupan dunia.
Pada
tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian
ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:
"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma
anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang
sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."
Artinya:
"....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh
melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang
yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."
Jadi, brata penyepian dilakukan
dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat
kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga
tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi
catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya,
amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan
umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan
latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan
tapa, yoga, samadhi. Tujuan utama brata
penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat
melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan
moksha.
2. Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka
Jika kita perhatikan tujuan
filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan
tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan
utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan
yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk
memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi
sumber kehidupan.
Tawur Kesanga juga berarti
melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini
dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau
membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam
untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa
atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan
memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi
perlu selalu dilakukan agar karmawasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini
berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah
tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka
Menyimak sejarah lahirnya, dari
merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang
selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa
yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti
berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat.
Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan
merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif
apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat.
Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang
kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh
seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia
bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.
3.
Pelaksanaan
Upacara
Upacara Melasti dilakukan antara
empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan
dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken
prakerti ring prawatek dewata."
Di Bali umat Hindu melaksanakan
upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala
perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau
mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan
persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan,
pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum
Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan
persembahyangan.
Upacara Melasti ini jika
diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara
Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling
desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa.
Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa,
mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang
dilaluinya.
Dalam rangkaian Nyepi di Bali,
upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota
provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca
Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa
dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah
tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan
segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di
pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu)
dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng
ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah
cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di
bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna
9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air
tawar.
Setelah usai menghaturkan pecaruan,
semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi,
melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan
di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yajña di tingkat
provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul
11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga
dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah
tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan
ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan
nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi
wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.
Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran
warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia
atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat. Ogoh-ogoh
sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi.
Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana
itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan
rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya
dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam
upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap
kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang
melambangkan Bhuta Kala.
Karena bukan sarana upacara,
ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu
ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan
memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat
agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan
upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus
ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama
Hindu.
Nah, lalu bagaimana pelaksanaan
Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan
berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya
yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya,
jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan
yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal
serupa jelas tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana
telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada
menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:
- Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
- Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
- Amati lelungan (tidak bepergian).
- Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.
Yang terpenting, Nyepi dirayakan
dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang
tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan
melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju
jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar
spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.
Upawasa artinya dengan niat suci
melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata
upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri,
tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan
pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan
persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di
rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat
yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan
sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu
memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.
(Sumber:
Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana - Sabha Walaka
Parisada, terbitan Pustaka Manikgeni)
Tags:
Etika,
Tattwa,
Upacara/Upakara
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: