Rohaniawan dalam agama Hindu menempati kedudukan
yang penting, peranan rohaniawan tampak sangat menonjol dalam penyelesaian
suatu yadnya. Lebih-lebih lagi dalam yadnya yang cukup besar akan terasa
kurang sempurna bila tidak diantar oleh rohaniawan yang dipandang sesuai untuk
itu. Dalam kehidupan umat Hindu di Bali dikenal ada tiga unsur utama yang
berperanan dalam pelaksanaan suatu yadnya :
- Yajamana, adalah pelaksana atau pemilik Yadnya;
- Pancagra atau sang widya, adalah para tukang yang berperanan dalam menyiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan dalam bentuk upakara;
- Sadhaka, adalah para rohaniawan yang bertugas mengantarkan yadnya teersebut dengan puja, seha, mantra dan wedanya.(Tim Penyusun, 2002 : 1).
Rohaniawan yang dipandang
sesuai untuk mengantar atau menyelesaikan suattu yadnya erat kaitannya dengan
besar kecilnya yadnya tersebut. Dalam tingkatan yadnya yang besar patut diselesaikan (dipuput) oleh Sulinggih,
yaitu rohaniawan yang tergolong Dwijati.
Sedangkan dalam tingkatan yadnya yang
kecil cukup diantar (dianteb) oleh
rohaniawan tingkat eka jati seperti pemangku, dan yang sejenisnya.
Rohaniawan yang bertugas
mengantar suatu yadnya dalam agama
Hindu dikenal dengan berbagai sebutan. Secara umum sebutan rohaniawan tersebut
dibedakan atas dua golongan yaitu :
1.
Rohaniawan
yang tergolong dwi jati atau yang
disebut dengan Sulinggih dengan
sebutan : Pedanda, Empu, Dukuh, Resi
dan sejenisnya.
2.
Rohaniawan
yang tergolong eka jati atau walaka dengan sebutan : Pemangku, Dukun, Pinandita, Balian, Mangku
Dalang dan sejenisnya.
Pemangku
adalah salah satu rohaniawan yang patut diperhitungkan keberadaannya, pemangku hendaknya mampu memahami dan
melaksanakan sesananing kepemangkuannya sehingga sangatlah
penting untuk dibahas lebih lanjut mengenai sesananing
seorang pemangku tersebut.
2. SESANANING PEMANGKU.
Sesananing pemangku dalam kehidupan sangat dibutuhkan, tuntutan yang sedemikian tinggi dari
masyarakat mewajibkan seeorang pemangku
untuk terus meningkatkan dirinya dalam bidang spiritual, maupun berlaksana dan
bertingkah laku sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan
sesananya sebagai seorang pemangku.
Kehidupan sebagai Pemangku memiliki ciri khusus
yang mengikat, disebut dengan sasana
yang menjadi kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun yang
dimaksud dengan sasana yang menjadi kode etik Pemangku adalah
segala aturan-aturan atau tata tertib yang berhubungan dengan ”Kawikon” (aturan-aturan kehidupan yang
patut dilaksanakan oleh seorang Pemangku).
Dalam Agama Hindu sasananing
atau kode etik yang mengikat ini mendapat tempat yang paling utama, karena
didalamnya tecermin nilai-nilai etika keagamaan, yang selalu dipatuhi. Bagi
mereka yang mendalami hidup sebagai pemangku, harus menghayati
seluruh aturan-aturan yang mengikat, baik itu melalui sikap prilaku, maupun
kemampuan sikap spiritualitas yang dimiliki sebagai pemangku. Dengan
mengetahui sasananing atau kode etik
ini, seorang pemangku akan
menghindari pelanggaran terhadap sasananing
atau aturan-aturan ke pemangkuan.
1. Pengertian Pinandita (Pemangku)
dan jenisnya.
Dalam agama Hindu, ada penyebutan
istilah tentang pandita dan pinandita. Kata pandita berasal dari akar kata ”pand”,
yang artinya mengetahui. Penyebutan istilah pandita
ini, diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan
mengenai ilmu pengetahuan suci Veda serta memiliki sifat yang arif dan
bijaksana. Dan untuk mendapatkan tingkat atau status pandita ini, seseorang harus pula melakukan upacara penobatan yang
disebut ”Diksa”. Dari kata pandita inilah kemudian timbul sebutan
untuk pendeta.
Sedangkan kata pinandita, dasar
katanya adalah pandita mendapat sisipan ”in”,
yang artinya Di. Jadi pengertian pinandita disini ialah seseorang yang
dianggap sebagai wakil pandita. Guna
mencapai tingkatan atau status pinandita
ini pun melalui upacara/upakara diksa yang dikenal dengan sebutan ”pawintenan”. Di dalam beberapa lontar dan juga keputusan dari jawatan
agama Propinsi Bali No. 85/Dh.B/SK/U-15/1970 tanggal 20 April 1970 serta
keputusan seminar aspek-aspek Agama Hindu di Amlapura Bali menyebutkan bahwa
ada beberapa tingkatan pewintenan, antara lain :
a. Pewintenan Saraswati (Mulai Mempelajari
Agama)
b.Pewintenan Bunga (Pewintenan setelah
berumah tangga)
c.
Pewintenan
Sari (Mulai mempelajari kitab Suci Veda atau cakepan Lontar)
d.
Pewintenan
Gede (Menjadi pemangku atau Jro Mangku
yang lazim disebut Pinandita).
Untuk mengetahui arti dan makna pewintenan
atau mawinten dalam konteks hubungan
dengan kesucian diri, maka upacara ini dapat kita bedakan menjadi: pawintenan yang berkaitan dengan Manusa Yajña dan pawintenan yang berkaitan dengan Rsi Yajña. Pawintenan
yang berkaitan dengan Manusa Yajña
adalah Pawintenan Saraswati dan Pawintenan Bunga, sedangkan yang
berkaitan dengan Rsi Yajña adalah Pawintenan Sari dan Pawintenan Gede atau Pinandita.
Sedangkan kata pawintenan itu
sendiri berasal dari kata winten,
yang dapat diartikan dengan inten (berlian), permata bercahaya. Pawintenan atau mawinten mengandung arti melaksanakan suatu upacara untuk
mendapatkan sinar (cahaya) terang dari Sang
Hyang Widhi Wasa, supaya dapat mengerti, mengetahui, serta menghayati
ajaran pustaka suci Veda tanpa aral
melintang. Makna dari pawintenan di
sini tidak lain mohon waranugraha Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawanya
sebagai Sanghyang Guru, yang memberi
tuntunan, Sanghyang Gana memberikan
perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugerah ilmu pengetahuan suci Veda.
D idalam kelengkapan upacara/upakaranya pawintenan
Gede atau pawintenan Pinandita
ini lebih lengkap rerajahan atau
tulisan-tulisan aksara sucinya, dibandingkan dengan pawintenan Saraswati, Bunga,
dan Sari.
Menurut
Keputusan Mahasaba Prisada Hindu Dharma ke-2 tanggal 5 Desember 1968, yang
dimaksud dengan pemangku adalah
mereka yang telah melaksanakan upacara pewintenan
samapai dengan adiksa Widhi tanpa ditapak dan amati aran. Kata Pemangku
berasal dari kata “Pangku” yang
disamakan artinya dengan “nampa” ,
“menyangga” atau “memikul beban” atau “memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini
memikul beban atau tanggungjawab sebagai pelayan atau perantara antara manusia
dengan Sang Pencipta (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa) atau dengan kata lain, tannggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus
sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan
Pemangku.
Sedangkan
Sesananing asal katanya dari sesana yang artinya suatu peraturan atau
undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat, atau dengan kata lain sesana
merupakan suatu batasan ugeran
prilaku untuk dapat mengetahui salah dan benar. Adapun manfaat dari dibuatnya sesana tersebut yaitu untuk mengetahui
batas-batas prilaku baik buruk seseorang diantara salah dan benar. Sedangkan
tujuan secara rohaninya yaitu untuk menuntun umat menuju jalan yang baik dan
benar. Dengan mengetahui sesana, maka
seeoraqng akan takut berbuat salah dan dan sangat berhati-hati dalam
berperilaku dalam segala sesuatu yang ia lakukan.
Jadi Sesananing Pemangku adalah landasan moral yang patut dipedomani
oleh seorang pemangku dalam
menjalankan pfofesinya agar ia tetap dipandang sebagai orang yang disucikan dan
sebagai perantara antara umat dengan Ida
Bhatara dan sebaliknya. Landasan
moral ini patut dipedomani dalam bertindak dan berlaksana agar kedudukan
sebagai seorang pemangku tetap
dihormati sebagai mana mestinya. Sebagaimana yang telah dijelaskan kedudukan
seorang pemangku setingkat lebih
tinggi dari masyarakat pada umumnya, maka tuntunan moral yang diharapkan oleh
masyarakat juga lebih banyak dari masyarakat biasa. Kedudukan yang lebih tinggi ini juga yang
menyebabkan kedudukan pemangku lebih
disoroti dari segala segi, sehingga sedikit saja lepas dari moral tersebut maka
umat akan cepat menyoroti karena kedudukan pemangku
menjadi panutan bagi umat didalam mencapai kesejahteraan di dunia maupun di
akhirat.
Wewenang, tugas kewajiban
serta penghargaan terhadap pemangku
berkaitan erat dengan jenis pura tempat pemangku
itu bertugas. Sebagaimana diuraikan dalam lontar Raja Purana Gama, dibedakan menjadi dua belas jenis pemangku dilihat dari Swadharma maupun
tempatnya melaksanakan tugas sehari-hari :
1. Pemangku Pura dalem, Puseh dan Bale Agung.
2. Pemangku Pamongmong.
3. Pemangku Jan Banggul.
4. Pemangku Cungkub.
5. Pemangku Nilarta.
6. Pemangku Pandita.
7. Pemangku Bhujangga.
8. Pemangku Balian.
10. Pemangku
Lancuban.
11. Pemangku Dalang.
12. Pemangku
Tukang.
13. Pemangku
Kortenu.
2. Pengendalian diri seorang Pemangku.
Dalam kitab Silakrama
ditekankan bahwa para pandita/pinandita (pemangku) hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran
Panca Yama dan Niyama Brata.
- Panca Yama Brata
Jenjang pertama bagi Astangga Yoga
adalah Yama. Yama artinya
pengendalian diri tahap pertama. Yama ini terdiri dari lima bagian, sehingga disebut
Panca Yama, yakni terdiri dari :
1.
Ahimsa artinya
tidak membunuh atau tidak menyakiti, ini menunjukan bahwa seseorang yang baru
memasuki kehidupan rohani, hendaknya bebas dari segala perbuatan yang menyakiti
sesama mahluk.
2.
Brahmacari,
bagi seseorang yang hendak mengabdikan dirinya dalam hidup kebenaran dan
kesucian diri, suci pikiran, kata-kata dan perbuatan, maka ia harus hidup
sebagai seorang Brahmacari. Demikian
yang disebutkan dalam ajaran yoga.
Hal ini ditujukan kepada rohaniawan (pandita/pinandita), yang dengan sepenuhnya
mengikhlaskan hidupnya dengan mengabdi kepada Tuhan.
3.
Sathya artinya
kebenaran dan kejujuran. Kejujuran adalah sifat yang selalu dituntut oleh orang
yang berbudhi baik, karena sifat ini
akan membawa manusia pada ketenangan.
4.
Awyawaharika atau Awyawahara berarti tidak berselisih,
tidak berjual beli dan tidak berbuat dosa karena kepintaran.
5.
Astainya atau Asteya artinya tidak mencuri. Mencuri
adalah mengambil milik orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Perbuatan ini adalah perbuatan mementingkan diri sendiri tanpa memandang betapa
sakit dan sengsaranya hati orang yang miliknya diambil oleh orang lain.
- Panca Niyama Brata.
Niyama adalah ajaran pengendalian diri tahap kedua.
Seperti halnya Yama, Niyama inipun
juga terdiri dari lima bagian karena itu disebut Panca Niyama Brata. Rinciannya adalah sebagai berikut :
1.
Akrodha artinya
tidak suka marah. menaklukan kemarahan.
2.
Guru
Susrusa berarti bhakti berguru.
3.
Sauca berarti
kesucian lahir batin.
4.
Aharalaghawa artinya
makan sepatutnya, sesuai dengan kebutuhan tubuh.
5.
Apramada artinya tidak lalai.
Adapun sasana
atau aturan-aturan yang dijelaskan dalam kitab Silakrama ini, memberikan suatu arahan dan tujuan agar seseorang pemangku hendaknya mampu memelihara
kesucian didalam dirinya dalam mengemban tugas/misi suci Tuhan. Baik itu yang
bersifat lahiriah yang dituangkan dalam ajaran yama brata, maupun yang
bersifat batiniah yang dituangkan dalam ajaran Niyama Brata. Ajaran yama
dan Niyama brata meletakkan dasar kode etik atau sasana, pada sistem disiplin diri. Apabila setiap individu telah
tertanam disiplin pribadi yang kokoh, dengan sendirinya apa yang menjadi tujuan
seseorang dalam menempuh kehidupan rohani akan terwujud kesuciannya.
Untuk melengkapi sasananing
pemangku ini, tidak ada salahnya bila disampaikan ajaran
tentang Rwawelas Brataning Brahmana,
yakni suatu ajaran yang berisikan duabelas macam syarat atau aturan hidup lahir
dan bathin bagi para brahmana. Adapun
keduabelas macam syarat atau aturan hidup ini, dimuat dalam kitab Sarasamuccaya sloka 57, yang menyebutkan
sebagai berikut :
”Dharmacca satyam ca tapo damacca vimatsaritvam
Hristitiksanasuya, yajñacca danam ca dhritih
ksama
Ca mahavratani dvadaca vai brahmanasya”.
Artinya :
Ini adalah brata
sang Brahmana, duabelas banyaknya, Perincianya : Dharma, satya, tapa, dama,wimarsaritwa,hrih, titiksa, anusuya,
yajña, dana, dhrti, ksama, itulah perinciannya sebanyak duabelas : dharma
dari satyalah sumbernya, tapa artinya sarira sang sesana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi
nafsu : dama artinya tenang dan
sabar, tahu menasehati dirinya sendiri.
Wimatsaritwa artinya tidak dengki-irihati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya artinya tidak berbuat dosa, yajña
adalah mempunyai kemauan mengadakan pemujaan; dana adalah memberikan
sedekah, dhrti artinya penenangan dan
pensucian pikiran, ksama artinya tahan
sabar dan suka mengampuni ; itulah brata
sang brahmana.
Demikian yang disebutkan dalam kitab Smrti Sarasamuccaya mengenai Rwawelas Brataning Brahmana, yang juga
merupakan ketentuan/ syarat yang perlu dimiliki oleh para brahmana atau dalam
hal ini oleh para sulinggih, termasuk
didalamnya para pinandita (pemangku) .
2.
Kewajiban Pemangku
Di dalam konteks melaksanakan dharma negara dan dharma
agama, para pemangku mengemban tugas dan misi suci Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Yang sangat
mulia. Ada dua hal pokok yang menjadi tugas dan kewajiban pemangku yaitu :
a. Tugas
seorang pemangku adalah berbuat
sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama di
masyarakat yang disebut jagaditha,
dengan cara memberikan tuntunan rohani, pembinaan mental spiritual serta
membantu kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinilah sesungguhnya
arti penting daripada loka phala sraya
yaitu menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, sentosa dan sejahtera yang
disebut dengan kasukerthan jagat.
Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup
umat, juga memohon keselamatan negara atau yang disebut dengan ngayasang jagat, dengan cara melakukan
pemujaan setiap hari kepada Sang Hyang
Widhi Wasa, sebagaimana yang dilaksanakan dalam surya sewana, yang memiliki dua sasaran dan tujuan. Pertama,
menyucikan diri lahir batin dan kedua memohon keselamatan negara (ngayasang Jagat). Jadi di dalam
pelaksanaan surya sewana seorang pandita, memohon ke hadapan Sang Hyang Whidi Wasa, agar beliau Asung kertha nugraha baik kepada umat
maupun negara tercinta, sehingga memperoleh apa yang disebut suka sadya lan rahayu.
b.
Kewajiban pemangku
sebagai sulinggih ada sepuluh
jumlahnya, yang disebut dengan Dasakramaparamartha,
yakni :
- Tapa.
Teguh dan kuat pendirian dalam memuja Sang Hyang Widhi (Dewaarcana) dan melaksanakan dharmaning kawikon serta mengucapkan puja, japa, mantra dan Veda setiap
hari.
- Brata.
Melaksanakan disiplin bathin, mengurangi makan (aharalagawa) dan mengurangi tidur, tidak melanggar pantangan,
meninggalkan pengaruh panca indrya
serta taat melaksanakan yama-niyama
Brata.
- Yoga
Melatih pernafasan (pranayama),
guna menyeimbangkan stula sarira
dengan suksma sarira sebagai sarana
untuk menghubungkan diri dengan Sang
Hyang Widhi Wasa, dan melebur dasamala
pada diri.
- Samadhi
Memusatkan pikiran ditujukan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga tidak terpengaruh suatu kondisi
luar (nirwikara).
- Santa
berpikir cemerlang dan berpenampilan yang tenang.
- Sanmata
berperasaan yang riang dan gembira meskipun dalam menghadapi
cobaan-cobaan hidup.
- Maitri
senang mengatakan yang baik dan benar serta berprilaku yang baik dan
santun.
- Karuna
senang bertukar pikiran dengan sesama. Baik dengan hal yang bersifat wahya, maupun dengan hal-hal yang
bersifat adhyatmika dan mengasihi sarwa tumuwuh atau semua mahluk.
- Upeksa
tahu tentang perbuatan baik dan buruk, perbuatan benar dan salah serta
suka memberi petunjuk kepada orang yang belum memahami arti baik atau buruk.
- Mudhita
mencintai kebenaran dan memiliki budi pekerti yang luhur cemerlang dalam
kehidupan.
Disamping itu seoarang pinandita/pemangku mempunyai tugas dan kewajiban untuk:
mengantarkan upacara yang diselenggarakan di pura/merajannya, menuntun warganya
dalam pendalaman Dharma, dan menjaga
kebersihan dan kesucian pura/merajan. Demikian diungkapkan di sini mengenai
tugas dan kewajiban pemangku, yang
patut ditekuni di dalam melaksanakan dharmanya
sebagai sulinggih.
3. Wewenang
Pemangku
Walaupun status pemangku
sebagai wakil pandita, tentunya
memiliki kewenangan didalam menyelesaikan upacara/upakara (yajña) sepanjang
tidak bersifat prinsipil dan inipun atas seijin dan petunjuk pandita atau nabe yang bersangkutan. Adapun mengenai tingkat upacara yang
dilaksanakan terbatas pada tingkat pedudusan
alit. Kewenangan lain yang ada pada seorang pemangku yakni dalam upacara-upacara seperti :
- menyelesaikan upacara Bhuta Yajña, sampai dengan tingkat menggunakan Caru Panca Sata.
- Menyelesaikan upacara Manusa Yajña, diberi wewenang dari mulai bayi lahir sampai dengan otonan dan pawidhi widana tingkat kecil.
- Di dalam menyelesaikan upacara Pitra Yajña, terbatas sampai dengan mendem sawa (mekingsan Gni).
- Membuat tirtha panglukatan/pabersihan
- Nganteb upakara piodalan/pujawali di pura/merajan yang diemongnya sampai batas ayaban tertentu.
- Nganteb upakara pada upacara/yajña tertentu di lingkungan keluarga dengan tirtha pamuput dari pandita
- Istilah yang digunakan oleh pemangku adalah “Nganteb” bukan “muput”.
- Membantu pelaksanaan yajña tertentu dari pemangku suatu pura dengan seijinnya
- Menggunakan Genta,
- Menggunakan mantra, dan mudra tertentu bila sudah mewinten dengan ayaban bebangkit serta sudah mendapat bimbingan dan ijin dari pandita
Adapun mengenai busana yang dipergunakan berikut
perlengkapan dari seorang pemangku antara
lain :
a.
Rambut panjang atau bercukur.
b.
Pakaian: destar,
baju, saput (selimut), kain dalam melakukan upacara, semuanya berwarna
putih.
c. Dalam
melakukan pemujaan menggunakan: genta,
dulang, pasepan, sangku (tempat air suci atau tirtha ) bunga, Gandaksata.
Sedangkan
penghargaan yang menjadi hak pemangku/pinandita
adalah:
- Bebas dari ayahan desa;
- menerima sesari/bagian sesari;
- menerima hasil pelaba pura (bila ada).
4. Disiplin Pemangku:
- Menjaga kebersihan (lahiriah) dan kesucian diri (bathiniah) dengan cara setiap pagi mapeningan;
- Berpakaian sesuai dengan sesana kepinanditaan/kepemangkuan;
- Mempunyai perlengkapan pemujaan: sebuah dulang, diatasnya ada ; genta, tempat dupa, pasepan, sangku, sesirat dari daun lalang, caratan tempat air bersih, botol tetabuhan, canting, dan bunga. Sebuah kekasang dan Genitri.
- Aturan kecuntakaan bagi Pemangku;
- Tidak kena cuntaka karena orang lain
- Terkena cuntaka bila ada anggota keluarga yang serumah meninggal dunia
- Pemangku istri terkena cuntaka bila haid
- Bila kawin.menikah harus mesepuh (mewinten ulang) dengan tingkat ayaban yang sama seperti sebelumnya, bersama-sama istrinya.
- Pemangku yang dihukum karena tindak pidana (kriminal) diberhentikan sebagai pemangku oleh warganya.
- Jenasah pemangku tidak boleh dipendem.
- Tidak cemer.
- Selalu dislipin untuk tidak membuat tirta apapun, kecuali hanya memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
5. Larangan –larangan yang patut dipatuhi seorang Pemangku
Seperti yang termuat dalam lontar Kusumadewa, sebagai berikut :
Iki
Larangan Ki Pemangku
Bratanya :
”Tan wenang mangan ulam : bawi, sampi.jen
ada ngmatiang deweke upami : siap, bebek, djag mati, ika pada tan wenang
pangan.
Ten wenanng njelepin longlongan, muah emper-emper, tan wenanng negen
tenggala, lampit, tambah, sorok, tjongkod, antuk njelang ring anak siosan, tan
wenang njumbah sawa.
Tan wenang bobad ring djatma, tan wenang mangan paridan sawa, tan wenang
kabale ne misi sawa, muah tan wenang adjejuden.
Mangkana parikramaning larangan pemangku jan sampun nganggen sangkulputih”.
Demikian larangan pemangku yang termuat dalam lontar Kusuma Dewa, adapun
larangan-larangan yang lain antara lain sebagai berikut :
-
Tidak
memakan makanan yang tidak diperbolehkan menurut agama (daging sapi, babi,
minuman beralkohol) maupun makanan yang merugikan kesehatan.
-
Jika
bisa dalam rangka menyucikan diri alanngkah baiknya semua jenis daging tidak
dimakan.
-
Dilarang
menyentuh benda-benda cemer.
-
Dilarang
berjudi,
-
Dilarang
kawin lagi. Namun apabila hendak kawin lagi maka kepemangkuannya hilang dan kembali lagi melaksanakan upacara pewintenan bersama dengan istri baru.
-
Dilarang
ngewintenang pemangku.
-
Karena
pemangku kena cuntaka, maka ia dilarang pergi kerumah /tempat kecuntakan. Hal
ini tergantung kepada Ida Bhatara yang
mepica panugrahan. Ada yang melarang, ada yang memberikan, hanya saja
disertai dengan membuat banten segehan dan melukat setelah datang datang dari
tempat kecuntakan.
3.
PENUTUP
Sesananing pemangku merupakan suatu etika atau norma-norma yang harus
dilaksanakan dalam menjalani kehidupan sebagai seorang pemangku. Mengingat dalam kedudukannya di masyarakat pemangku adalah orang-orang pilihan yang
memiliki nilai lebih dari manusia biasa, dimana dapat dikatakan sebagai
penghubung rasa bhakti umat terdapat Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, serta mengingat banyaknya batasan-batasan yang
diuraikan dalam sesanananing pemangku
hendaknya mulai dari sekarang Pemangku
merubah diri menuju jati diri seorang pemangku
sejati sesuai dengan aturan yang diuraikan dalam lontar-lontar yang menguraikan kepemangkuan.
Artikel by : Drs. I Wayan Lipur, M.Si
Tags:
Etika,
Tattwa,
Upacara
2 komentar:
Om Swastiastu
Becik blognyane niki, artikel2nyane stata becik tur pradnyan , ngiring stata "update" mangda sumingkin makeh parindikan agama Hindu , budaya Bali ring dunia maya
Om Swastyastu,
Suksma katur marep ring bapak Sobat Budiasa sane sampun simpang turmaning nyuratang komentar ring blog tityang puniki,,
nunas ampura yening wenten makekirang daging utawi makna sane sampun kepublikasiang.
punika taler ampura,santukan kesibukan tityang ngayah ring kantor utawi ring masyarakat dadosne suwe nenten update artikelnyane..
galah sane jagi rawuh sampun pastika jagi kelanturang tityang malih