Bunga hampir disemua bangsa didunia menempatkan pada posisi kesucian,
sehingga bunga dapat mewakili ungkapan perasaan seseorang. Demikian juga halnya
dengan kehidupan sosial masyarakat Hindu, bunga menempati posisi yang sangat
terhormat, sehingga menjadi sarana persembahyangan sebagai mana diungkapkan
dalam Kitab Suci Bhagawadgita Bab IX, Sloka 26, sebagai berikut :
yo me
bhaktya prayaccahati
tad aham
bhaktyaupritam
asnami
prahyatatmanah “
artinya
siapa
saja yang sujud kepadaku
dengan
persembahan sehelai daun, sekuntum bunga,
sebiji
buah buahan, seteguk air, Aku menerima sebagai
bhakti
persembahan dari orang yang berhati suci.
Dari
pernyataan tersebut diatas, bunga merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai
cara untuk menunjukkkan perasaan yang dapat memberikan rasa kepuasan dalam
menyampaikan setusan hati dan rasa bhakti kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan
jalan yadnya yang diwujudkan dalam
Upakara.
Tentang kenapa bunga menjadi sarana utama ? Ada
beberapa pemikiran yang dapat disimak sebagai berikut :
1. Bunga bermakna Religius, sebagai penebar
bau harum, dapat meredam rasa emosional, penyerap energi positif, dan membawa
pikiran kedalam koridor kesucian. Dengan demikian setelah kita sembahyang
dengan mempersembahkan bunga, kita hendaknya senantiasa menebarkan keharuman,
dalam artian dapat berperilaku yang memberikan keharuman kepada orang lain,
agar menjadi orang yang ternama. Karena memberikan pelayanan dan penghormatan
kepada orang lain adalah bagian dari penghormatan kepada Hyang Widhi, maka
segala perilakunya adalah persembahan kepada Nya, maka akan membentuk manusia
yang religius, artinya apa yang ia lakukan bukan hanya untuk kepentingan
dirinya dan orang lain, tapi semua itu dapat dipertanggungjawabkan kepada Hyang
Widhi yang natinya dinikmati dalam Karmawasana.
2. Bunga sebagai awal akan terjadinya buah.
Sebab tidak akan pernah ada buah tanpa diawali dengan bunga. Karena bunga
adalah lambang kesucian, sehingga apapun yang kita lakukan harus berlandaskan
kesucian, agar apa yang kita dapati dalam bentuk buah atau pahala juga dengan
kesucian. Apabila kesucian menjadi payung dalam pikirannya maka apapun yang kita lakukan akan selalu
menebarkan kesucian, sebagaimana diungkapkan dalam Lontar Yadnya Prawertti,…”
sekare pinaka katulusan pikatunan suci ..”
Dari penjelasan tersebut
diatas, mengenai unsur pokok dalam persembahyangan kemudian berkembang menjadi
berbagai bentuk sesajen. Dan yang menjadi landasan utama dalam persembahan
adalah hati yang suci yang didasari dengan rasa cintakasih, walaupun dalam
bentuk yang masih sederhana. Demikian pula sebaliknya persembahan yang
berbentuk mewah dan besar yang didasari dengan rasa Ego tidak akan mempunyai arti kesucian bila
upakara yang besar dan mewah tanpa jiwa yadnya ( ketulusan ) dan spirit yadnya
( hakekat ).
Tetapi bagi umat yang mampu,
dapat saja bahkan baik sekali membuat upakara yang besar asalkan didasarkan
pada kesucian dan cintakasih serta dilandasi oleh pengetahuan yang melandasi
upakara tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan oleh Para Rsi dan ahli agama
dan para seniman agama untuk mewujudkan berbagai tattwa agama kedalam bentuk
upakara yang penuh arti dan makna, seperti canang.
Kata Canang berasal dari
Bahasa Jawa Kuno, yang berarti “ sirih “ yaitu persembahan yang diberikan
kepada tamu terhormat pada jaman dahulu. Hal ini termuat dalam kekawin
Nitisastra Sargah V /4
masepi tikang waktra tan amucang
wang
masepi
tikang wisma tan hana putra
masepi tikang desa tan hana mukhya
sepitikang
tryi apupul ing anartha
Artinya
terasa sepi mulut itu bila tidak mengunyah sirih
terasa sepi rumah itu bila tiada anak
terasa sepi desa / wilayah itu bila
tidak ada pemimpinnya
ketiga
sepi tersebut dijadikan satu, terhadap orang yang tidak punya uang.
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: