Telah kita ketahui bersama bahwa salah satu dari
ciri-ciri agama Hindu adalah Memiliki pokok keyakinan yaitu Panca Sradha. Panca
Sradha ini diibaratkan merupakan pondasi jika kita ingin membuait rumah, karena
pada hakikatnya Panca Sradha itulah yang disebut agama. Tidak ada satu garis yang dijadikan ukuran
keimanan atau keyakinan seseorang beragama Hindu. Kitab suci weda yang menjadi
pegangan dan pedoman dasar bagi umat Hindu memuat banyak hal penting termasuk
keimanan dan Sradha. Kata Sradha berarti kepercayaan dan berarti upacara
pemujaan kepada arwah leluhur yang diwajibkan bagi setiap umat Hindu. Dengan
menoleh ke arah definisi di atas, dimana Panca berarti lima, maka dapat
diartikan bahwa Panca Sradha merupakan lima macam kepercayaan dan keyakinan
yang dimiliki oleh umat Hindu. Adapun bagian-bagian dari Panca Sradha ini yaitu
Widhi Sradha, Atma Sradha, Karma Sradha, Punarbhawa Sradha, dan Moksa Sradha.
1. Percaya adanya Tuhan (Brahman/Hyang
Widhi)
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai
pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini
merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha
Kuasa, Maha Esa dan Maha segala-galanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang disebut
juga Hyang Widhi (Brahman), adalah ia yang kuasa atas segala yang ada ini.
Tidak ada apapun yang luput dari Kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai
pemelihara dan Pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber
dan awal serta akhir dan pertengahan dari segala yang ada. Didalam Weda
(Bhagavad Gita), Tuhan (Hyang Widhi) bersabda mengenai hal ini, sebagai
berikut:
Etadyonini bhutani
sarvani ty upadharaya
aham kristnasya jagatah
prabhavah pralayas tatha. (BG. VII.6)
Ketahuilah, bahwa semua insani mempunyai
sumber-sumber kelahiran disini, Aku adalah asal mula alam semesta ini demikian
pula kiamat-kelaknya nanti.
Aham atma gudakesa
sarva bhutasaya sthitah
aham adis cha madhyam cha
bhutanam anta eva cha. (BG.X.20)
Aku adalah jiwa yang berdiam dalam hati segala
insani, wahai Gudakesa. Aku adalah permulaan, pertengahan dan penghabisan dari
mahluk semua.
yach cha pi sarvabhutanam
bijam tad aham arjuna
na tad asti vina syan
maya bhutam characharam. (BG. X.39)
Dan selanjutnya apapun, oh Arjuna, aku adalah
benih dari segala mahluk, tidak ada sesuatupun bisa ada, bergerak atau tidak
bergerak, tanpa aku.
Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, didalam maupun doluar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah "telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata", namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada. Di dalam Bhuana Kosa disebutkan sebagai berikut:
Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada disetiap mahluk hidup, didalam maupun doluar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap disegala tempat dan ada dimana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (k.U. 1,2) disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah "telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala ucapan, nafas dari segala nafas dan mata dari segala mata", namun Hyang Widhi itu bersifat gaib (maha suksma) dan abstrak tetapi ada. Di dalam Bhuana Kosa disebutkan sebagai berikut:
"Bhatara Ciwa sira
wyapaka
sira suksma tan keneng angen-angen
kadiang ganing akasa
tan kagrahita
dening manah muang indriya".
Artinya:
Tuhan (Ciwa), Dia ada di mana-mana, Dia gaib,
sukar dibayangkan, bagaikan angkasa (ether), dia tak dapat ditangkap oleh akal
maupun panca indriya.
Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir
dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya. Tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada
tempati. Beliau ada disini dan berada disana Tuhan memenuhi jagat raya ini.
"Sahasrasirsa purusah sahasraksah sahasrapat,
sa bhumim visato vrtva tyatistad dasangulam". (Rg Veda X.90.1)
Tuhan berkepala seribu, bermata seribu, berkaki
seribu, Ia memenuhi bumi-bumi pada semua arah, mengatasi kesepuluh penjuru.
Seribu dalam mantra Rg Veda di atas
berarti tak terhingga. Tuhan berkepala tak terhingga, bermata tak terhingga,
bertangan tak terhingga. Semua kepala adalah kepa_Nya, semua mata adalah
mata-Nya, semua tangan adalah tangan-Nya. Walaupun Tuhan tak dapat dilihat
dengan mata biasa, tetapi Tuhan dapat dirasakan kehadirannya dengan rasa hati,
bagaikan garam dalam air. Ia tidak tampak, namun bila dicicipi terasa adanya
disana. Demikian pula seperti adanya api di dalam kayu, kehadirannya
seolah-olah tidak ada, tapi bila kayu ini digosok maka api akan muncul.
Eko devas sarva-bhutesu
gudhas
sarva vyapi sarwa
bhutantar-atma
karmadyajsas sarvabhutadhivasas
saksi ceta kevalo nirgunasca. (Svet. Up. VI.11)
Tuhan yang tunggal sembunyi pada semua mahluk,
menyusupi segala, inti hidupnya semua mahluk, hakim semua perbuatan yang berada
pada semua mahluk, saksi yang mengetahui, yang tunggal, bebas dari kualitas
apapun.
Karena Tuhan berada di mana-mana, ia
mengetahui segalanya. Tidak ada sesuatu apapun yang ia tidak ketahui. Tidak ada
apapun yang dapat disembunyikan kepada-Nya. Tuhan adalah saksi agung akan
segala yang ada dan terjadi. Karena demikian sifat Tuhan, maka orang tidak
dapat lari kemanapun untuk menyembunyikan segala perbuatannya. Kemanapun berlari
akan selalu berjumpa dengan Dia. Tidak ada tempat sepi yang luput dari
kehadiran-Nya.
Yas tisthati carati
yasca vancanti
Yo nilayam carati yah pratamkam
dvatu samnisadya yanmantrayete
raja tad veda varunas trtiyah (A.W. IV.16.2)
Siapapun berdiri, berjalan atau bergerak dengan
sembunyi-sembunyi, siapaun yang membaringkan diri atau bangun, apapun yang dua
orang duduk bersama bisikan satu dengan yang lain, semuanya itu diketahui oleh
Tuhan (Sang Raja Alam Semesta), ia adalah uyang ketiga hadir di sana.
Kendatipun Tuhan itu selalu hadir dan meresap di
segala tempat, tetapi sukar dapat dilihat oleh mata biasa. Indra kita hanya
dapat menangkap apa yang dilihat, didengar, dikecap dan dirasakan. Kemampuannya
terbatas, sedangkan Tuhan (Hyang Widhi) adalah Maha Sempurna dan tak terbatas.
Di dalam Weda disebutkan bahwa Tuhan
(Hyang Widhi) tidak berbentuk (nirupam), tidak bertangan dan berkaki (nirkaram
nirpadam), tidak berpancaindra (nirindryam), tetapi Tuhan (Hyang Widhi) dapat
mengetahui segala yang ada pada mahluk. Lagi pula Hyang Widhi tidak pernah
lahir dan tidak pernah tua, tidak pernah berkurang tidak juga bertambah, namun
Beliau Maha Ada dan Maha Mengetahui segala yang ada di alam semesta ini. Tuhan
berkuasa atas semua dan Tunggal atau Esa adanya.
Yoccitdapo mahina paryapacyad
daksam dadhana
janayantiryajnam
Yo deweswadhi dewa eka asit
kasmai dewaya hawisa widhema. (R.W.X.121.8)
Siapakah yang akan kami puja dengan segala
persembahan ini? Ia Yang Maha Suci yang kebesaran-Nya mengatasi semua yang ada,
yang memberi kekuatan spiritual dan yang membangkitkan kebaktian, Tuhan yang
berkuasa. Ia yang satu itu, Tuhan di atas semua.
ya etam devam ekavrtam
veda
na dwitya na trtiyas cateutho napyucyate,
na pancamo na
sasthah saptamo napyucyate,
nasthamo na navamo dasamo napyucyate,
sa sarvasmai vi pasyati vacca pranati yacca na,
tam idam nigatam sahah sa esa eka ekavrd eka eva,
sarve asmin deva ekavrto bhavanti. (A.V.XIII.4)
Kepada ia yang mengetahui ini Tuhan semata-mata
hanya tunggal. Tidak ada yang kedua, ketiga, keempat Ia dipanggil. Tidak ada
yang kelima, keenam, ketujuh, Ia dipanggil. Tidak ada yang kedelapan,
kesembilan Ia dipanggil. Ia melihat segala apa yang bernafas dan apa yang tidak
bernafas. Kepada-Nya-lah tenaga penakluk kembali. Ia hanya tunggal belaka.
Padanya semua dewa hanya satu saja.
Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, yang
tak terjangkau oleh pikiran, yang gaib dipanggil dengan nama sesuai dengan
jangkauan pikiran, namun ia hanya satu, Tunggal adanya.
"Ekam eva
advityam Brahma" (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
"Eko Narayanad
na dvityo "Sti kaccit" (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
"Bhineka
Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa" (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang
dua.
"Idam mitram
Varunam
agnim ahur atho
divyah sa suparno garutman
Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim
yamam matarisvanam ahuh. (R.W.I. 1964.46)
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia
yang Bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, Satu Itu (Tuhan), sang
bijaksana menyebut dengan banyak nama, seperti Agni, Yama Matarisvam.
Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka
orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang
Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia
dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai
pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia maha tahu, berada
dimana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan
dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat
yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan
petunjuk-Nya agar ia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini.
2. Percaya adanya Atman
Atman adalah percikan kecil dari
Paramatman (Hyang Widhi/Brahman). Atman di dalam badan manusia disebut
Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan adalah laksana
kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang mengemudikan dan kreta adalah
badan. Demikian Atman itu menghidupi sarva prani (mahluk) di alam semesta ini.
Angusthamatrah
Purusa ntaratman,
Sada jananam hrdaya samnivish thah,
Hrada
mnisi manasbhikrto,
yaetad, viduramrtaste bhavanti".
(Upanisad)
Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia
adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam
hati dan pikiran, mereka yang mengetahuinya menjadi abadi.
Satu That yang bersembunyi dalam setiap
mahluk yang menghidupi semuanya, yang merupakan jiwa semua mahluk, raja dari
semua perbuatan pada semua mahluk, saksi yang mengetahui dan tunggal.
Demikianlah Atman merupakan percikan-percikan kecil dari paramatman (Tuhan)
yang berada di setiap mahluk hidup. Atman adalah bagian dari pada Tuhan,
bagaikan titik embun yang berasal dari penguapan air laut, karena ada pengaruh
dari suatu temperatur tertentu. Seperti halnya juga percikan-percikan sinar
berasal dari matahari, kemudian terpencar menerangi segala pelosok alam semesta
ini. Atau dapat diumpamakan Hyang Widhi (Brahman/Tuhan) adalah sumber tenaga
lsitrik yang dapat menghidupkan bola lampu besar atau kecil dimanapun ia
berada. Bola lampu disini dapat diumpamakan sebagai tubuh setiap mahluk dan
aliran listriknya adalah Atman.
Oleh karena Atman itu merupakan bagian
dari Brahman/Hyang Widhi, maka Atman pada hakekatnya memiliki sifat yang sama
dengan sumbernya, yakni Brahman itu sendiri. Atman bersifat sempurna dan kekal
abadi, tidak mengalami kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan duka.
Menurut Weda (Bh.G.23,24 dan 25), sifat-sifat Atman dinyatakan sebagai berikut:
Nai nam Chindanti sastrani
nai nam dahati pavakah
na soshayati marutah (Bh.G.II.23)
Senjata tidak dapat melukai Dia, dan api tidak
dapat membakarnya, angin tidak dapat mengeringkan Dia, dan air tidak bisa
membasahinya.
achchhedyo "yam adahyo yam
akledyo soshya eva cha
nityah sarvagatah sthnur
achalo yam sanatanah. (Bh. G. II.24)
Dia tak dapat dilukai, dibakar, juga tidak
dikeringkan dan dibsahi, Dia adalah abadi, tiada berubah, tidak bergerak, tetap
selama-lamanya.
Avyakto yam achityo yam
avikaryo yam uchyate
tasmad evam viditvai
nam
na nusochitum arhasi
(Bh.G.II.25)
Dia dikatakan tidak termanifestasikan, tidak dapat
dipikirkan, tidak berubah-ubah, dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya
jangan berduka.
Yang dimaksud "Dia" dan
"Nya" dalam sloka di atas adalah Atman itu sendiri. Dia mengatasi
segala elemen materi, kekal abadi, dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu Atman
(Jiwatman) tidak dapat menjadi subyek ataupun obyek daripada
perubahan-perubahan yang dialami oleh pikiran, hidup dan badan jasmani. Karena
semua bentuk-bentuk yang dialami ini bisa berubah, datang dan pergi, tetapi
jiwa itu tetap langgeng untuk selamanya.
Dari uraian sloka di atas, ada beberapa
sifat atman yang penting di sini adalah: Achodya (tak terlukai oleh senjata).
Adahya (tak terbakar oleh api), Akledya (tak terkeringkan oleh angin), Acesyah
(tak terbasahkan oleh air), Nitya (abadi), Sarvagatah (dimana-mana ada), Sthanu
(tak berpindah-pindah), Acala (tak bergerak), Sanatana (selalu sama), Awyakta
(tak terlahirkan), Achintya (tak terpikirkan), dan Awikara (tak berubah dan
sempurna tidak laki-laki atau perempuan).
Perpaduan Atman dengan badan jasmani,
menyebabkan mahluk itu hidup. Atman yang menghidupi badan disebut Jiwatman.
Pertemuan Atman dengan badan jasmani ini menyebabkan Dia terpengaruh oleh
sifat-sifat maya yang menimbulkan awidya (kegelapan). Jadi manusia lahir dalam
keadaan awidya, yang menyebabkan ketidak sempurnaannya. Atman itu tetap
sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna. Manusia tidak luput
dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun manusia itu mengalami kematian, namun
Atman tidak akan bisa mati. Hanya badan yang mati dan hancur, sedangkan Atman
tetap kekal abadi.
Vasamsi jirnani yatha
vihaya
navani grihnati naro
parani
tahta sartrahi vihaya jirmany
anyani samyati navani dehi (Bh.G.II.22)
Ibarat orang yang menanggalkan pakaian lama dan
menggantikannya dengan yang baru, demikian jiwa meninggalkan badan tua dan
memasuki jasmani yang baru.
Jiwatman yang terbelengu berpindah dari
satu badan ke badan yang lain. Setiap kelahirannya membawa badan, hidup dan pikiran
yang terbentuk dari pada prakerti menurut evolusinya dimasa yang lalu dan
kebutuhannya dimasa yang akan datang. Apabila badan jasmani yang menjadi tua
dan hancur, maka alam pikiran sebagai pembalut jiwa merupakan kesadaran baginya
untuk berpindah-pindah dari satu badan ke badan yang lain yang disebut
reinkarnasi atau phunarbhawa sesuai dengan karmaphalanya (hasil perbuatannya di
dunia). Karena itu Atman tidak akan selalu dapat kembali kepada asalnya yaitu
ke Paramaatman. Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan menuju sorga dan
yang berbuat buruk akan jatuh ke Neraka. Di Neraka Jiwatman itu mendapat
siksaan sesuai dengan hasil perbuatannya. Karena itulah penjelmaan terus
berlanjut sampai Jiwatman sadar akan hakekat dirinya sebagai Atman, terlepas dari
pengaruh awidya dan mencapai Moksa yaitu kebahagiaan dan kedamaian yang abadi
serta kembali bersatu kepada asalnya.
3. Percaya adanya Hukum Karmaphala
Segala gerak atau aktivitas yang
dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari
atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut "Karma". Ditinjau dari
segi ethimologinya, kata karma berasal dari kata "Kr" (bahasa
sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab
Akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikianlah sebab
dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau
pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Hukum Karma Phala.
Di dalam Weda disebutkan "Karma phala ika
palaing gawe hala ayu", artinya karma phala adalah akibat phala dari baik
buruk suatu perbuatan atau karma (Clokantra 68).
Hukum karma ini sesungguhnya sangat
berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik
dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat
menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jadi setiap
orang berbuat baik (subha karma), pasti akan menerima hasil dari perbuatan
baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka
keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima.
Phala atau hasil dari perbuatan itu tidak
selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Tangan yang menyentuh es akan
seketika dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa
memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas, ada bekas yang
nyata, ada bekas dalam angan dan ada yang abstrak. Oleh karena itu hasil
perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan
sekarang maka akan ia terima setelah di akherat kelak dan ada kalanya pula akan
dinikmati pada kehidupan yang akan datang.
Dengan demikian karma phala dapat
digolongkan menjadi 3 macam sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima
hasilnya, yaitu Sancita Karma Phala, Prarabda Karma Phala, dan Kriyamana Karma
Phala.
1.Sancita Karma Phala: Hasil perbuatan kita dalam
kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang
menentukan kehidupan kita yang sekarang.
2.Prarabda Karma Phala: Hasil perbuatan kita pada
kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi;
3.Kriyamana Karma Phala: Hasil perbuatan yang
tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada
kehidupan yang akan datang.
Jadi adanya penderitaan dalam kehidupan
ini walaupun seseorang selalu berbuat baik, hal itu disebabkan oleh karmanya
yang lalu (sancita karma), terutama yang buruk yang harus ia nikmati hasilnya
sekarang, karena pada kelahirannya terdahulu belum habis diterimanya.
Sebaliknya seseorang yang berbuat buruk pada kehidupannya sekarang dan nampaknya
ia hidup bahagia, hal itu disebabkan karena sancita karmanya yang dahulu baik,
namun nantinya ia juga harus menerima hasil perbuatannya yang buruk yang ia
lakukan pada masa kehidupannya sekarang ini.
Tegasnya, bahwa cepat atau lambat, dalam
kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima,
karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa
3), dinyatakan sebagai berikut: "Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang
telah dilakukan didunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam
lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk.
Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan
menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan,
walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap
saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang
disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia
melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman."
Ada penyakit tentu ada penyebabnya,
demikian pula penderitaan itu, pasti ada sebab musababnya. Tetapi kita harus
yakin bahwa penyakit atau penderita tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang
tidak bisa menghindari hasil perbuatannya, apakah baik ataupun buruk, sehingga
seseorang tidak boleh iri jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih
baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali nasibnya,
karena apa yang ia terima merupakan tanggungjawabnya. Ini harus disadari, bahwa
penderitaan disaat ini adalah akibat dari perbuatan kita sendiri, baik yang
sekarang maupun yang telah lampau. Namun kita harus sadar pula bahwa suatu saat
penderitaan itu akan berakhir asal kita selalu berusaha untuk berbuat baik.
Perbuatan baik yang dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan baik
sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu
sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu
sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu
hal yang perlu diingat, bahwa hukum karma phala itu tidak terlepas dari
kekuasaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah yang menentukan
phala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum
Karma.
"Asing sagawenya dadi
manusa,
ya ta mingetaken de Bhetara
Widhi,
apan sira pinaka paracaya Bhatara
ring cubhacubha karmaning janma". (Wrhaspati
Tattwa 22)
Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan
menjadi manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa), karena Dia sebagai saksi (dari) baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia.
"Bhatara
Dharma ngaran ira Bhatara Yama
sang kumayatnaken cubhacubha prawrti
sekala janma". (Agastya Parwa 355.15)
Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama
(sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan yang mengamat-amati
(mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan
memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.
Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan
akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah
di akhirat kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran)
terpisah dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang
akan datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah
yang baru. Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman (roh) yang
berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan.
Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan oleh Hyang Widhi ini bersendikan pada
keadilan.
Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan
corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya
bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada
Atman (roh) yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya
akan semakin bertambah merosot. Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
"Dewanam
narakam janturjantunam narakam pacuh,
Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah,
Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri,
Damstrinam narakam visi visinam naramarane." (Clokantara 40.13-14)
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia
neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas
neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi
taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat
membahayakan manusia.
Demikianlah kenerakaan yang dialami oleh Atman
(roh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika
penjelmaan itu telah sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia
tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka.
4. Percaya Adanya
Punarbhawa/Reinkarnasi/Samsara.
Punarbhawa berarti kelahiran yang
berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau
Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang
berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran
yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa
ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan
kematian akan diikuti oleh kelahiran".
Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang,
yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam
Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia
ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang
berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini
terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian
akan diikuti oleh kelahiran". Demikian pula disebutkan:
Sribhagavan uvacha,
bahuni me vyatitani,
janmani tava cha rjuna,
rani aham veda sarvani,
na tvam paramtapa (Bh.
G. IV.5)
Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku
di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi
engkau sendiri tidak,. Parantapa.
Atman yang masih diselubungi oleh suksma
sarira dan masih terikat oleh adanya kenikmatan duniawi, menyebabkan Atman itu
awidya, sehingga Ia belum bisa kembali bersatu dengan sumbernya yaitu Brahman
(Hyang Widhi). Hal ini menyebabkan atman itu selalu mengalami kelahiran secara
berulang-ulang.
Segala bentuk prilaku atau perbuatan yang
dilakukan pada masa kehidupan yang lampau menyebabkan adanya bekas (wasana)
dalam jiwatman. Dan wasana (bekas-bekas perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika
wasana itu hanya bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung
dan gampang ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali.
Karmabhumiriya
brahman,
phlabhumirasau mata
iha yat kurate karma tat,
paratrobhujyate. (S.S.7)
Sebab sebagai manusia sekarang ini adalah akibat
baik dan buruknya karma itu juga akhirnya dinikmatilah karma phala itu. Artinya
baik buruk perbuatan itu sekarang akhirnya terbukti hasilnya. Selesai
menikmatinya, menjelmalah kembali ia, mengikuti sifat karma phala. Wasana
berarti sangskara, sisa-sisa yang ada dari bau sesuatu yang tinggal
bekas-bekasnya saja yang diikuti hukuman yaitu jatuh dari tingkatan sorga
maupun dari kawah-kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun buruk yang
dilakukan di akhirat, tidaklah ia berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang sangat
menentukan adalah perbuatan-perbuatan baik atau buruk yang dilakukan sekarang
juga.
Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu
proses yang terjalin erat satu sama lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
karma adalah perbuatan yang meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan
maupun tingkah laku. Sedangkan punarbhawa adalah kesimpulan dari semua karma
itu yang terwujud dalam penjelmaan tersebut. Setiap karma yang dilakukan atas
dorongan acubha karma akan menimbulkan dosa dan Atman akan mengalami neraka
serta dalam Punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat
yang lebih rendah, sengsara, atau menderita dan bahkan dapat menjadi mahluk
yang lebih rendah tingkatannya. Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan
berdasarkan cubhakarma akan mengakibatkan Atman (roh) menuju sorga dan jika
menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau
lebih tinggi. Di dalam Weda (S.S.48) dinyatakan sebagai berikut:
"Adharmarucayo
mandas,
tiryaggatiparayanah,
krocchram yonimanuprapya,
na windanti sukham janah.
Adapun perbuatan orang yang bodoh, senantiasa
tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia
menjadi binatang, seperti biri-biri, kerbau dan lain sebagainya; bila
kelahirannya kemudian meningkat, ia menitis menjadi orang yang hina, sengsara,
diombang-ambingkan kesedihan dan kemurungan hati, dan tidak mengalami
kesenangan.
Sedangkan orang yang selalu berbuat baik
(cubhakarma), Sarasmuccaya menyebutkan: "Adapun orang yang selalu melakukan
karma baik (cubhakarma), ia dikemudian hari akan menjelma dari sorga, menjadi
orang yang tampan (cantik), berguna, berkedudukan tinggi, kaya raya dan
berderajat mulia. Itulah hasil yang didapatnya sebagai hasil (phala) dari
perbuatan yang baik".
Kesimpulannya, dengan keyakinan dengan
adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimana kelahirannya
tergantung dari karma wasananya. Kalau ia membawa karma yang baik, lahirlah ia
menjadi orang berbahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya
bila orang membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang
menderita. Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk
memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
Iyam hi yonihprathama,
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih (S.S. 4)
Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh
utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan
sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah
keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Sopanabhutam Swargasya,
manusyam prapya
durlabham,
tathamanam samadyad,
dhwamsetana purna yatha. (S.S. 6)
Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya
kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit
diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang
menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
Diantara semua mahluk hidup yang ada
didunia ini, manusia adalah mahluk yang utama. Ia dapat berbuat baik maupun
buruk, serta dapat melebur perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik.
Oleh karena itu seseorang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai
manusia. Karena sungguh tidaklah mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia
sekalipun manusia hina.
Itulah sebabnya, maka seorang hendaknya
dapat menghargai dan menggunakan kesempatan yang amat berharga ini untuk
membebaskan diri dari kesengsaraan dan menuju pada kebahagiaan yang abadi yang
sisebut Moksa atau kelepasan. Memang sungguh disayangkan, apabila kesempatan
yang baik ini berlalu tanpa makna. Kelahiran manusia dikatakan berada
ditengah-tengah antara sorga dan neraka. Jika kebajikan yang diperbuat maka
tentulah hidupnya akan meningkat, tetapi jika dosa yang dilakukan, sudah
pastilah akan jatuh ke neraka. Jadi setiap kali kelahiran sebagai manusia
patutlah digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hidup ke jenjang yang
lebih mulia dan luhur.
5. Percaya adanya Moksa
Dalam Weda disebutkan: "Moksartham
Jagadhitaya ca itu dharma", maka Moksa merupakan tujuan yang tertinggi.
Moksa ialah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan
terlepasnya Atman danri pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya,
yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami
kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda.
Orang yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi
kedunia, karena tidak ada apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan
Paramatman. Bila air sungai telah menyatu dengan air laut, maka air ungai yang
ada di laut itu akan kehilangan identitasnya. Tidak ada perbedaan lagi antara
air sungai dengan air laut. Demikianlah juga halnya, Atman yang mencapai Moksa.
Ia akan kembali dan menyatu dengan sumbernya yaitu Brahman.
Bahunam
janmanam ante,
jnanavan
mam prapadyate,
vasudevah
sarvam iti,
sa
mahatma sadurlabhah. (Bh. G. VII. 19)
Pada banyak akhir kelahiran manusia, orang yang
berbudi (orang yang tidak lagi terikat oleh keduniawian) datang kepada-Ku,
karena tahu Tuhan adalah sealanya; sungguh sukar dijumpai jiwa agung serupa
itu.
Mam
upetya punarjanma
duhkhata
yam asasvatam,
na
pnuvanti mahatmanah,
samsiddhim
paramam gatah. (Bh. G. VIII.15)
Setelah sampai kepada-Ku, mereka yang berjiwa
agung ini tidak lagi menjelma ke dunia yang penuh duka dan tak kekal ini dan
mereka tiba pada kesempurnaan tertinggi.
Di samping setelah di dunia akhirat, Moksa
juga dapat dicapai semasa hidup didunia ini, namun terbatas kepada orang-orang
yang sudah bebas dari keterikatan duniawian dan pasang surut serta duka-dukanya
gelombang hidup. Sebagaimana halnya Maharsi yang telah bebas dari
keinginan-keinginan menikmati keduniawian dan bekerja tanpa pamerih untuk
kesejahteraan dunia. Moksa semasa hidup disebut dengan "Jiwan Mukti".
Demikianlah pokok pokok keyakinan dari manusia
dalam hal ini umat Hindu yang merupakan pondasi keyakinan kita terhadap Hindu
itu sendiri.
Artikel by : I Wayan Terang Pawaka, S.Pd, M.Ag
Tags:
Etika,
Tattwa
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: