Aktualisasi dan realisasi ajaran
agama nampak dan tercermin dalam prilaku dan individu maupun sosial dalam
keseharian, sebab walaupun orang memiliki pengetahuan agama yang tinggi bila
keserakahan, keangkuhan dan arogansi menyelubungi seseorang, maka pengetahuan
agama tersebut hanyalah bersifat teori belaka. Ajaran agama semestinya menjadi
pegangan yang mengubah prilaku seseorang dari kurang arif menjadi arif , dan
belenggu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad atau dari pengaruh Danawa menjadi prilaku Madhawa.
Demikian secara teoritis yang
dianjurkan namun kenyataannya tidak setiap umat beragama mampu merealisasikan
seluruh ajaran agama yang demikian luhurnya dalam dalam kehidupan pribadi
maupun sisoal. Diturunkannya berbagai macam brata atau ajaran tentang latihan
pengekangan diri oleh Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan tidak lain adalah untuk
kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang
berstana pada diri pribadi seseorang. Kegelapan oleh berbagai fator terutama
oleh keterikatan terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk
meningkatkan kwalitas dalam hakekat kehidupan.
Salah satu ajaran tentang brata
adalah Brata Swaratri yang mengandung ajaran yang sangat luhur, guna
meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuha Yang Maha Esa. Dan melalui
brata ini pula seseorang akan dapat meningkatkan keluhuran budhi pekertinya
sehingga perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dicegah, diredam
dan dihindari termasuk pula emosi yang dapat meletup dalam kerusuhan sosial
yang dapat mengorbankan jiwa dan harta benda.
1.
Pengertian Siwaratri
Siwaratri artinya Malam Siwa. Bila
diuraikan tersir dari kata Siwa (Sanskerta) yang artinya baik hati, suka
memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar atau nama
kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar
kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai
kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian.
Sedangkan kata Ratri artinya malam,
malam disini juga dimaksud kegelapan.
Jadi Siwaratri berarti malam untuk
melebur atau memralina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Kekawin Siwaratri karya Mpu Tanakung diklangan masyarakat
Hindu di Bali lebih dikenal dengan nama Kekawin Lubdaka. Kekawin ini biasanya
dibaca pada hari raya Siwaratri, yaitu pada hari Caturdasi Krsnapaksa artinya panglong ping 14 Sasih Kepitu atau
sehari sebelum bulan mati pada bulan magha (ke-7) yaitu malam yang paling gelap
di dalam satu tahun.
Ajara Siwarati bersumber pada : Siwapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan
keakwin Siwaratri kalpa. Mpu Tanakung telah berasil menggubah karya sastra
yang bermutu yaitu Kekawin Siwaratri
Kalpa atau Lubdaka pada jaman Maja Pahit (Abad ke-15). Beliau mengambil
sumber Padmapurana yang memuat
percakapan antara Dilipa dengan Wasistha.
Bagian Uttara Kanda dari Padmapurana
sangat dekat dengan kekawin Siwaratri
Kalpa. Malah bagian-bagian tertentu dalam kekawin Siwaratri Kalpa merupakan
terjemahan dari sumber tersebut. Dengan menggubah kekawin Siwaratri Kalpa Mpu
Tanakung diduga bermaksud lebih menyebarluaskan cerita itu lewat media seni
sastra.
Hari Raya Siwaratri di Bali sudah
dilaksanakan dengan sangat baik oleh masyarakat yang lebih menonjol pada
perayaan Siwaratri adalah Brata.
2.
Brata Siwaratri
Kata brata dalam bahasa sanskrta berarti janji, sumpah, kewajiban, laku
utama atau keteguhan hati.
Dengan demikian Brata Siwaratri artinya kewajiban sebagai laku utama atau janji
untuk teguh hati untuk melaksanakan ajaran Siwaratri.
Brata Siwaratri ada tiga jenis yaitu :
1.
Tingkat Utama yang terdiri dari Monobrata, upawasa, dan
jagra yang dilaksanakan sekaligus.
2.
Brata Tingkat Madya
terdiri dari upawasa dan jagra dilaksanakan sekaligus.
3.
Brata Tingkat Nista hanya dengan melaksanakan jagra.
Penjelasan :
Ø
Monabrata artinya pantangan bicara atau berdiam
diri tanpa bicara dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00
Tileming sasih Kepitu selama 36 jam.
Ø
Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum
lamanya sama dengan monabrata.
Ø
Jagra artinya berjaga, bangkit, maksunya tidak
tidur selama 36 jam.
Maksud dari pada Brata tersebut
adalah untuk memperoleh kesadaran diri dengan melakukan Brata Siwaratri dengan
melenyapkan papa. Kata papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka,
buruk, jahat dan hina.
3.
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India
pada paro petang ke-14 bulan phalguna (februari-maret) hyampir sama dengan di
Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan magma (januari-februari),
yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang Kepura-Pura Sanghyang Siwa
dengan mengucapkan japa pancaksara OM
NAMAH SIWAYA. Sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari
terbenam.
4.
Aktualisasi Pelaksanaan Brata Siwaratri.
Berbagai perayaan dan pelakanaan Brata tidak akan banyak memberikan
manfaat bila umat tidak mampu menangkap makna dibalik perayaan atau Brata
tersebut, untuk itu hal yang penting adalah merenungkan semua makna
keutamaan Brata itu kemudian
mengejewantahkannya dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.
Brata Siwaratri adalah hari untuk
meningkatkan kesadaran kita untuk senantiasa memuja keagungan Sanghyang Widi dalam
hal ini salah satu abhiseka atau manifestasi utama-Nya adalah sebagai Sanghyang
Siwa.
Tujuan utama dari Brata Siwaratri
adalah melenyapkan sifat-sifat buruk atau jahat dan hina.
Pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam
upacara Siwaratri karena manusia dalam menghadapi segala hambatan baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan waranugraha
Dewa Siwa sebagai pemeralina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci. Dewa
Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan
kegelapan batin, menuju kehidupan yang penuh kesadaran, karena hidup yang penuh
kesadaran dapat melenyapkan kepapaan dan kesengsaraan.
Ciri
orang yang telah berasil berjuang melenyapkan kepapaan adalah orang yang penuh dengan pengendalian
diri dalam bidang makan dan minum yang disimboliskan dalam upawasa (puasa).
Orang yang penuh pengendalian diri dalam kata-katanya disimboliskan dengan
monabrata, dan orang yang selalu waspada dan sadar dalam segala tingkah lakunya
sehingga selalu dapat berbuat dharma disimboliskan dengan jagra. Orang yang
demikian selalu mendapat perlindungan dan waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi
Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Siwa baik selama hidupnya di didunia
maupun di akhirat.
Artikel by : Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si
Tags:
Etika,
Tattwa,
Upacara
0 komentar: