Dalam hubungan Sosiologis masyarakat Hindu di Bali, sampai sekarang ini masih
menempatkan kaum perempuan sebagai makhluk kelas dua setelah laki-laki. Semua
itu disebabkan oleh kultur orang Bali (agama
Hindu) dalam kontek social didominasi oleh garis kebapakan (patrilineal) yang dalam agama Hindu lebih kenal dengan sebutan
Purusa. Laki-laki dalam fungsi sebagai purusa bertanggung jawab terhadap
leluhur dan keluarganya untuk melaksanakan upacara keagamaan sehingga berhak
atas waris yang oleh yang menurunkannya baik berupa sekala maupun niskala (sekala
berupa materi dan niskala berupa
karma wasana).
Walaupun demikian pendominasian
peran laki-laki dalam kehidupan dan kultur agama Hindu di Bali, apabila
ditinjau dari segi fungsi purusa, juga dapat diperankan oleh kaum perempuan
apabila dia bersetatus sentana rajeg.
Dalam kehidupan keluarga masyarakat Hindu di Bali perempuan juga memegang peran
yang sangat penting dalam menjaga nama baik keluarga artinya harum atau
jelaknya nama baik keluarga sangat ditentukan oleh anak perempuan.
Dari semua fenomena social tersebut
dalam Siwatattwa jelas memberikan
kesepadanan dan keseteraan dalam konsep Ardhanareswari
yaitu simbul Hyang Widhi dalam Eka Twa Aneka Twa dalam wujud purusa-pradana. Purusa dipersonifikasikan
sebagai Dewa Siwa, dan pradana Dewi Uma. Dalam proses penciptaan Siwa
memerankan fungsi maskulin dan Uma Feminim dan jelas dipastikan tidak akan
ada penciptaan bila kedua unsur tersebut tidak memberikan kekuatan hidup.
Konsep Ardhanareswari menempatkan kedudukan perempuan setara dan saling
melengkapi antara laiki-laki dengan perempuan yang merupaka unsur kekuatan dari
purusa dan pradana. Oleh sebab itu dalam berbagai sloka dapat dijumpai beberapa aspek yang menguatkan kedudukan
perempuan dari laki-laki.
Berbeda pula kalau dikaji dari segi
perspektif sosiologis dan cultural
perempuan ternyata ditempatkan secara proporsional artinya dari tatanan agama
Hindu kedudukan perempuan setara dan bahkan bisa melebihi peran laki-laki, hal
ini lagi dibuktikan lagi dari aspek personifikasi Hyang Widhi yaitu hal yang terdekat dengan kehidupan manusia
diwujudkan dalam bentuk perempuan (dewi)
misalnya yang tersekat dengan penguasa makanan disebut dengan Dewi Sri, sebagai penguasa ilmu
pengetahuan disebut dengan Dewi Saraswati
penguasa kematian disebut dengan Dewi
Durga dan penguasa kekayaan disebut dengan Dewi Ayu Mas Meketel atau Ratu
Mas Melanting.
Tetapi dalam tingkat sosiologis dan antropologis ia senantiasa
dibedakan dengan bahasa sederhana biasanya itu hanya semata-mata desebabkan
oleh aspek setruktur dan kultur misalnya :
Ketika ia berperan sebagai ibu
banyak hal yang harus diperankan dan dikerjakan diantaranya sebagai berikut :
1. Sebagai Dharma
Samppati mampu mengamalkan ajaran dharma berawal dari keluarganya berupa sila, nyadnya, tapa, berata dan semadhi.
2. Sebagai Artha,
memiliki kemampuan dalam mneingkatkan kesejahtraan keluarganya bekerja
berdasarkan dharma untuk membantu
pendapatan suami.
3. Sebagai Kama,
mampu saling memberi dan menerima kasih sayang, saling cinta mencintai,
saling memberi perhatian dan pengakuan dalam keluarga.
4. Sebagi Praja,
mampu melahirkan dan memelihara keturunan untuk membawa kearah putra menadi
suputra.
Begitu pula ketika ia mempersembahkan
hidupnya menjadi istri dari suaminya ia disebut Sadewi dengan perannya sebagai berikut :
- Sebagai Dewi mampu membersihkan kecemerlangan keluarga dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan kesucian agar menjadi istri ayng mulia.
- Sebagai Sri, mampu memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga, dan dapat mengatur perencanaan pengeluaran keluarga sesuai dengan kebutuhan.
- Sebagai Laksmi, selalu memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk, menghormati martabat suami dan melaksanakan berata sebagai istri yang mulia.
Dan ketika dia mendapat kesempatan
sebagai ibu atau istri dari seorang suami atau melahirkan dan memelihara
keturunan ia juga diberikan peran yang utama sebagai Brahmawandini yaitu seorang perempuan yang mempersembahkan hidupnya
dalam ilmu pengetahuan dan kesucian, pahalanya berimbang dengan perempuan yang
dapat melahirkan putra suputra dimana wanita dihormati disana para dewi-dewi
akan merasa senang tetapi dimana mereka tidak dihormati disana tidak akan ada
upacara suci yang berpahala (Manawadharma sastra, III, 56).
Raja yang selalu mengadakan
perjalanan suci akan dipuji dan dihormati, para pendeta yang melakukan
perjalanan suci juga akan dipuji dan dihormati, yogi yang mengembara juga
dihormati. Tetapi jika perempuan berjalan-jalan sendirian akan menemui
kehancuran (Canakya nitisastra, VI,04).
Kedua sloka tesebut menunjukkan betapa penting kedudukan perempuan
sehingga dikatakan sebagai yoni yaitu
sebagai simbul kesuburan dan kearifan disamping sebabai sumber ketenangan dan
ketentraman keluarga.
Selanjutnya dalam Canakya
nitisastra juga menjelaskan perempuan memiliki empat kelebihan yang tidak
dimiliki laki-laki (untuk dipahami dalam konteks positif) yaitu: perempuan
disbanding laki-laki dua kali lebih kuat nafsu makannya, empat laki lebih malu,
enam kali lebih berani dan hendaknya diingat nafsu kelaminnya delapan kali
lebih kuat, (Canakya nitisastra,1.17).
Artikel by : Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si
Tags:
Etika,
Tattwa
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: