Di dalam agama Hindu dikenal adanya
berbagai usaha atau media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu dari usaha atau media itu adalah melalui pelaksanaan hari-hari raya
keagamaan. Di antara demikian banyak hari-hari raya Hindu, satu di antaranya
adalah hari untuk memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui pemeliharaan
atas ciptaan-Nya berupa binatang ternak atau peliharaan.
Umat Hindu di Bali
menyebut hari itu adalah hari Tumpek Kandang atau Hari Tumpek Uye, yakni jatuh
pada setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Uye menurut perhitungan kalender Bali-Jawa.
Hari ini datang setiap enam bulan (210 hari) sekali. Pada hari ini umat Hindu
membuat upacara memuja keagungan Tuhan Yang Mahaesa sebagai Siva atau Pasupati,
yang memelihara semua makhluk di alam semesta ini. Pemujaan kepada Tuhan Yang
Mahaesa ini diwujudkan dengan memberikan upacara selamatan terhadap semua
bintang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.
Bagi
mereka yang bukan masyarakat Bali tentunya bertanya-tanya, demikian sibuknya
masyarakat Bali melaksanakan berbagai aktivitas kegamaan. Hampir seharian waktu
ibu-ibu digunakan untuk membuat sesajen atau sarana upacara keagamaan.
Pertanyaan sejenis juga sering ditanyakan oleh pengamat Manca Negara. Seorang
Professor dari Universitas California pernah
menemui penulis menanyakan tentang kesibukan masyarakat Bali
yang diabdikan untuk kepentingan agamanya. Terhadap pertanyaan ini, agama Hindu
menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh hendaknya didayagunakan untuk tiga
hal, yaitu Artha kasadyaning Dharma, kasadyaning Artha dan kasadyaning Kama
yang maknanya untuk didayagunakan untuk kepentingan Dharma, untuk kepentingan
Artha dan untuk kepentingan Kama. Jadi sepertiga didayagunakan untuk
kepentingan Dharma dalam pengertian yang luas termasuk berbagai aktivitas agama
dan pendidikan, sepertiga untuk kepentingan Artha sendir, yakni pengembangan
modal (investasi) dan sepertiga lagi untuk kepentingan Kama, yakni untuk
dinikmati. Dalam menikmati sesuatu, hendaknya yang dinikmati itu dipersembahkan
terlebih dahulu kepada Tuhan Yang Mahaesa. Kitab suci Veda maupun Bhagavadgita
menyatakan adalah seorang pencuri yang menikmati dosanya sendiri bila seseorang
menikmati sesuatu tidak mempersembahkannya terlebih dahulu kepada Tuhan Yang
Mahaesa. Makanan yang telah dipersembahkan kemudian dimohon untuk dinikmati
disebut Yajnasesa atau Prasadam, yang di Bali disebut 'lungsuran', makanan ini
diyakini telah diberkati oleh Tuhan Yang Mahaesa.
Apakah Hindu memuja binatang ?
Di
samping hari Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali
terdapat juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek
Wariga yakni upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan
untuk senjata, Tumpek Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang,
selamatan untuk wayang dan Tumpek Krulut, selamatan untuk unggas. Umumnya
upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan pada hari Tumpak Uye ini.
Lontar
Sundarigama yang memberi petunjuk tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia
menyatakan : Hari Tumpek Kandang adalah upacara selamatan untuk
binatang-binatang,binatang yang disemblih dan binatang piaraan, hakekatnya
adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa, Siwa yang disebut Rare Angon,
penggembala makhluk. Berdasarkan kutipan ini, tegas bahwa yang dipuja adalah
Tuhan Yang Mahaesa, bukan memuja binatang, demikian pula terhadap tumbuh-tumbuhan,
senjata-senjata, gamelan dan sebagainya. Mengapa membuat upacara selamatan
terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan
semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya
selaras dan hidup hamonis dengan alam semesta,khususnya bumi ini dan dengan
ciptaan-Nya yang lain, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam ajaran
Hindu, semua makhluk diyakini memiliki jiwa yang berasal dari Tuhan Yang
Mahaesa. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja Tri Sandhya) dengan tegas
menyatakan : Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk hidup sejahtra)
adalah doa yang bersifat universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala
isinya. Upacara selamatan kepada binatang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa
kasih sayang kepada semua binatang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.
Bagi masyarakat agraris, binatang khususnya sapi sangat membantu manusia.
Tenaganya untuk bekerja di sawah, susunya untuk kesegaran dan kesehatan manusia
bahkan kotorannya bermanfaat untuk menyuburkan tanaman. Umat Hindu sangat
memuliakan sapi, dan sapi dalam tradisi Hindu hendaknya dihormati sebagai ibu,
di samping juga bumi pertiwi, kitab suci dan lain sebagainya.
Bagaimana
halnya dengan barong dan binatang-binatang mitos dalam agama Hindu ?
Binatang-binatang tersebut diyakini sebagai binatang piaraan, wahana atau
tunggangan para dewa, berbagai manifastasi Tuhan Yang Mahaesa. Di dalam kitab
suci Veda dinyatakan Tuhan mengambil wujud sebagai garuda untuk memberikan rasa
aman dan kesejahtraan bagi umat manusia, demikian pula angsa, merak, barong dan
lain- sebagainya. Tuhan Yang Mahaesa dapat mengambil wujud-wujud tertentu
sebagai yang didambakan oleh umat manusia. Ia hadir berwujud atau tidak
berwujud (Sarupa atau Nirrupa), personal atau impersonal sesuai dengan
kemampuan manusia. Barong disebut Banaspati yang artinya raja hutan atau raja
pohon, ia juga disebut Mrgapati, raja dari semua binatang buas. Tuhan Yang Mahaesa atau Siva disebut Pasupati,
pengendali dan gembala semua binatang piaraan. Dalam Hindu, Tuhan Yang Mahaesa
disebut dengan ribuan nama (Sahasra nama Brahman).
Pelestarian lingkungan hidup
Agama Hindu di Bali telah
manyatu padu dengan kehidupan masyarakat Bali. Bagi para pengamat sepintas,
sangat sulit membedakan antara agama, adat, budaya, tradisi dan sebagainya yang
telah sedemikian rupa terjalin bagaikan kain endek atau tenun ikat Bali.
Seseorang sering menyatakan untuk kegiatan upacara agama disebut upacara adat.
Di Bali tidak ada adat yang memiliki upacara. Semua upacara yang dilakukan di
Bali sesungguhnya adalah upacara agama. Demikian pula seni budaya Bali, pada
mulanya diabdikan hanya untuk keagungan Tuhan Yang Mahaesa, namun kini
merupakan sesuatu yang menarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan.
Upacara-upacara keagmaan di Bali, khususnya upacara Tumpek membawa missi
pelestarian lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya.
Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi,
tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, selanjutnya pelestarian lingkungan
budaya ditujukan antara lain kepada benda-benda seni seperti gamelan, wayang
dan lain sebagainya. Upacara-upacara yang terkait dengan pelestarian lingkungan
hidup ini disebut upacara Bhuta Yajna dengan berbagai jenis atau tingkatannya,
Dari yang paling sederhana mempersembahkan sejumput nasi setelah memasak,
sampai pula Tawur atau Caru Ekadasa Rudra yang dilakukan seratus tahun sekali.
Apakah upacara-upacara sejenis ditemukan di India ? Penulis sepintas menemukan
adanya benang merah antara India dan Bali. Sebagai dimaklumi bahwa ciri khas
dari agama Hindu adalah dimana agama ini dianut, disana budaya setempat
dilestarikan. Ibarat air sungai Gangga, kemana aliran sungai itu mengalir, di
sanalah daerahnya berkembang dan tumbuh subur. Demikian pula halnya
upacara-upacara yang kita jumpai di Indonesia, di India juga dilaksanakan
misalnya Ayudhapuja, yakni upacara selamatan terhadap semua senjata, di
Indonesia kita kenal dengan Tumpek Landep. Demikian pula untuk tumbuh-tumbuhan
(Sankarapuja) dan lain-lain, misalnya Sarasvati, Sivaratri, Galungan-Kuningan
dan sebagainya. Dari beraneka hari-hari raya itu tidak semua dirayakan dengan
besar-besaran, ada dengan sangat sederhana bahkan ada hanya dengan melaksanakan
Brata atau Upavasa (puasa). Demikian pula tentang pelaksanaannya di India Utara
dan Selatan, Timur atau Barat sangat berbeda, apalagi dengan Indonesia atau
Bali. Semua perbedaan itu disebabkan pula oleh faktor budaya umat pendukungnya.
Seorang wartawan sempat
menanyakan kepada penulis, bukankah semua hari-hari raya itu adalah ekspresi
dari masyarakat agraris ? Bagaimana halnya dengan masyarakat kita yang mulai
berubah menjadi masyarakat agraris ? Memang nampak terjadinya pergeseran namun
prosesnya secara evolusi. Seperti halnya di India, dahulu tidak ada orang
mengupacarai kendaraan bermotor, televisi atau komputer. Di sana kini juga
seperti di Bali. Pada hari Tumpek Landep orang membuat upacara selamatan untuk
segala benda yyang terbuat dari besi, pada hal pada mulanya hanya untuk senjata
saja. Demikian pula terhadap sebagian fungsi sapi digantikan dengan traktor,
kini traktor diupacarai, tetapi hal ini tidakk dilakukan pada waktu Tumpek Uye,
melainkan pada waktu Tumpek Landep. Bila kita melihat di Bali sopir bemo, bus
wisata atau penumpang umum, bahkan juga dilakukan oleh kusir dokar, yakni
mempersembahkkan sesajen atau canang pada dashboard kendaraannya, di India juga
dilakukan hal yang sama, merekka tidak mempersembahkan canang, melainkan
karangan bunga kecil yyang dipersembahkkan terhadap arca-arca kecil atau
gambar-gambar dewa yang diletakkan pada dashboard kendaraannya. Apakah pemujaan
melalui gambar atau arca itu, sebagai perwujudan berhala. Bagi umat Hindu yang
idipuja atau disembah adalah Tuhan Yang Mahaesa, para dewa manifestasi-Nya dan
juga para rsi atau leluhur. Arca-arca atau pratima dan berbagai benda sarana
pemujaan itu hanya berfungsi sebagai media, sebagai sarana untuk lebih
mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Mahaesa, menifestasi-Nya atau siapa saja
yang dipuja.
Hemat kami walaupun telah
terjadi proses industrialisasi, essensi beragama akan tetap dilaksanakan. Pada
usaha industri, Tuhan Yyang Mahaesa dalam wuju-Nya sebagai dewi Laksmi, dewi
yyang memberikan kemakmuran dan kebahagiaan akan selalu dihadirkan oleh para
pengusaha yang beriman.
Kembali kepada topik tulisan ini, kapada binatang saja
umat manusia hendaknya mengembangkan cinta kasihnya apa lagi kepada sesama
manusia, tentunya kasih sayang hendaknya lebih bersemi lagi. Semogalah.
Artikel by : I Made Kartiada, S.Ag
Tags:
Tattwa,
Upacara/Upakara
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: